Pages

Pepaya, Pisang, dan Jambu Air: Pelajaran dari Yogyakarta



Oleh: Luhur Susilo – Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta 1995


Aku tiba di Yogyakarta dengan semangat yang mengepul, bersamaan dengan tanggal 2 Mei 1988—hari pendidikan nasional. Tak sekadar simbolik, itulah hari her registrasi yang menandai langkah pertamaku sebagai mahasiswa baru IKIP Negeri Yogyakarta, jalur PMDK.

Dari Blora, aku dan dua kawan berangkat awal Agustus 1988, hanya dengan sepeda onta dan harapan panjang. Kami tak membawa banyak, tapi kami percaya cukup: uang SPP, sedikit uang saku, dan keyakinan bahwa ilmu bisa menuntun masa depan.

Dua tahun pertama berjalan luwes. Kuliah lancar, semangat menyala. Kami kos di sekitar Ponpes Wahid Hasyim, Gaten, Condong Catur. Tapi perlahan, dua kawanku memilih jalan lain, pindah ke tempat yang lebih mereka rasa cocok.

Aku tetap bertahan. Rumah kontrakan sekretariat Pergerakan dan UKM Gelanggang Mahasiswa jadi pelabuhan baru. Di sanalah kami saling belajar: tentang idealisme, pengabdian, dan bertahan. Di sana pula kami memplesetkan pasal 34 UUD 1945—fakir miskin, anak telantar, dan mahasiswa kere dipelihara oleh negara—menjadi azimat humor yang menyambung hidup.

Namun negara, ternyata, tak punya cukup tangan untuk menjangkau lapar yang datang diam-diam. November di tahun ketiga, aku memilih tak pulang. Menanti wesel pos dari kampung yang molor hingga dua pekan lebih.

Hari-hari kampus sepi. Kegiatan usai. Undangan rekan-rekan tak lagi berdatangan. Aku mulai menepi, menjauh dari keramaian, tak karena tak suka, tapi karena malu mengaku lapar.

Aku biarkan perut diisi air putih berulang-ulang. Tapi air hanya mengulur waktu. Di seberang Masjid Mujahidin, beberapa pohon pepaya di area makam menjulang dengan buah ranum yang tak pernah dipetik.

“Mbàh, nyuwun gandhul,” bisikku lirih, sambil memetik satu. Aku izin sendiri, lalu menjawab sendiri. Dan lapar itu, perlahan, tergantikan rasa manis yang datang dari buah yang matang oleh waktu dan diam.

Pepaya itu tak hanya mengisi perut, tapi mengisi jiwa yang hampir menyerah. Aku bagi ke tetangga sekretariat. Tak kuceritakan asalnya, biarlah manisnya bicara sendiri.

Hari-hari berikutnya, pisang di belakang Gelanggang pun ikut menolong. Bergantian dengan jambu air di halaman rumah kontrakan. Alam seolah tahu: tak semua lapar butuh nasi, kadang cukup buah dan niat bertahan.

Saat jambu air jatuh dan berserakan, aku punguti dan makan, sambil menyapu halaman. Sendiri, sepi. Para sahabat telah mudik. Tapi aku tahu: Tuhan sedang menempaku lewat sepi dan lapar.

Aku mulai menghindari percakapan sosialita. Terbesit ide: menjual jasa ketik kartu mahasiswa dan transkrip. Hari kelima belas, akhirnya aku makan nasi. Rasanya seperti kemenangan kecil di tengah medan perjuangan.

Sejak hari itu, aku berani menjual jasa ketik, lalu mengantar koran dari satu terminal ke lainnya. Yogyakarta memberiku ilmu kampus, tapi lebih dari itu—ia memberiku pelajaran hidup dari pepaya, pisang, dan jambu air.

Rumah Tua, 15 Juli 2025

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar