Oleh : Rahmah Bangun
Berdomisili di Malang, Jawa Timur
Pada masa Rasulullah, hiduplah seorang pengemis buta. Ia seorang Yahudi yang biasa tinggal di sudut pasar di kota Madinah. Setiap kali ada yang mendekatinya, ia selalu berkata,
“Wahai saudaraku, berhati-hatilah. Jangan kau dekati Muhammad. Dia itu orang gila. Dia itu pembohong. Dia itu tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya, kalian akan dipengaruhinya.”
Banyak orang yang berlalu lalang di pasar. Siapapun yang melewati atau mendekatinya, ia akan mengulang-ulang ucapannya ini. Termasuk Rasulullah. Suatu hari Rasulullah mendekatinya. Mendengarkan apa yang diucapkan oleh pengemis ini. Kemudian Rasulullah memutuskan untuk mendatanginya setiap pagi. Bukan untuk memarahinya. Bukan untuk membalas kelakuan pengemis itu.
Sungguh indah akhlaq Rasulullah. Setiap pagi Rasulullah mendatanginya. Rasul membawakannya makanan. Duduk di sebelahnya untuk menyuapinya. Sebelum memasukkan makanan ke mulut pengemis itu, Rasul selalu menghaluskan makanannya. Tentunya tak henti-hentinya pengemis itu memberitahukan hal yang selalu diulang-ulangnya. Menasehati agar menjauhi Muhammad. Rasulullah tak pernah menanggapi dengan mengatakan apapun. Sepanjang waktu menyuapi, Rasulullah hanya diam.
Hal ini berlangsung setiap hari. Hingga saat Rasulullah wafat, tak ada lagi yang datang membawakan makanan untuk pengemis Yahudi ini. Pengemis Yahudi selalu menunggu kenapa tidak ada lagi yang datang menyuapinya dipagi hari.
Suatu hari, Abu Bakar mendatangi rumah Aisyah. Abu Bakar bertanya,
“Wahai anakku, adakah sunnah Rasulullah yang belum aku kerjakan?” tanya Abu Bakar kepada putrinya, Aisyah.
“Wahai, Ayah. Engkau adalah seorang ahli sunnah. Hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja,” jawab Aisyah.
“Apakah itu?” tanya Abu Bakar lagi.
“Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke sudut pasar. Rasul membawakan makanan untuk pengemis buta yang ada di sana,” jelas Aisyah.
Tak butuh waktu lama, keesokan harinya Abu Bakar pergi ke pasar. Membawa makanan dan mendatangi pengemis di sudut pasar. Abu Bakar pun duduk dan bersiap menyuapinya.
“Wahai saudaraku, dengarkan pesanku. Berhati-hatilah. Jangan kau dekati Muhammad. Dia itu orang gila. Dia itu pembohong. Dia itu tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya, kalian akan dipengaruhinya” kata pengemis itu.
Abu Bakar hanya diam saja. Lalu menyuapi makanan ke mulut pengemis itu.
“Hai siapakah, kamu?” teriak pengemis itu. Ia marah.
“Aku orang yang biasa,” jawab Abu Bakar singkat.
“Bukan. Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” teriak pengemis itu lagi. Ia tampak tidak suka dengan suapan dari Abu Bakar.
“Apabila ia datang, tidak susah tangan ini memegang. Tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku. Tapi dihaluskannya dulu makanan itu. Setelah itu baru disuapkannya kepadaku,” kata pengemis itu lagi.
Seketika Abu Bakar menangis. Ia sedih mengingat Rasulullah dengan keindahan akhlaqnya.
“Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang sahabatnya.” Abu Bakar menjelaskan dengan menangis. Pengemis itu pun tertegun. Kenapa orang ini menangis sedih, katanya dalam hati.
“Ketahuilah. Orang yang datang setiap pagi, yang dengan sabar menyuapimu adalah Rasulullah Muhammad SAW,” jelas Abu Bakar kemudian.
“Benarkah demikian?” tanya pengemis itu.
“Benar,” jawab Abu Bakar singkat. Abu Bakar tak kuasa menahan kepedihan hatinya.
“Selama ini aku menghinanya. Memfitnahnya. Ia tidak pernah memarahiku sedikitpun. Ia mendatangiku setiap pagi. Menyuapiku dengan sabar. Oh sungguh mulia akhlaqnya,” kata pengemis itu.
“Lantas kemana ia sekarang? Bukankah engkau sahabatnya?” tanya pengemis itu lagi.
“Ia telah wafat,” lirih suara Abu Bakar menjawabnya.
Pengemis itu pun menangis sedih. Ia menyesali perbuatannya selama ini. Lalu Abu Bakar pun menenangkannya. Dihadapan Abu Bakar, pengemis itu bersyahadat mengakui bahwa Allah sebagai Tuhannya dan Muhammad sebagai Rasulullah. Ia telah masuk Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar