Pages

Cabe Rawit



Oleh: Ilyani Yusuf

Pada suatu masa, hiduplah sepasang suami istri yang tinggal dekat dengan pegunungan. Atap dan dinding rumah mereka terbuat dari daun dan pelepah rumbia. Mereka hanya memiliki alas tidur, periuk dan beberapa helai pakaian. Mereka tidur di atas anyaman daun kelapa yang dijadikan sebagai tikar. Pada waktu malam mereka sering merasa kedinginan. Mereka tak memiliki selimut. Namun mereka membakar kayu untuk melawan dinginnya malam. 

Pekerjaan mereka berkebun. Mereka menggarap tanah dan menanami berbagai macam sayuran serta makanan pokok seperti padi, jagung, dan beras. Pak Tani selalu menjual hasil panennya ke pasar. Pak Tani dan Bu Tani selalu merawat kebunnya dengan baik. Sayur mayur yang tumbuh sangat subur. Tak heran, hampir setiap kali hasil panennya selalu banyak. Tahun berganti tahun, sekarang umur mereka sudah lebih dari 50. Harapan untuk memiliki anak pun semakin menipis. Toh, mereka sekarang sudah semakin tua. 

Meskipun umur mereka bertambah tua, mereka tak pernah berhenti berharap untuk memiliki seorang anak. Setiap malam setelah shalat tahajud, mereka terus berdoa agar diberikan anak. Sampai-sampai doa Pak Tani tak seperti biasa lagi. “Ya Allah, jika Engkau memberikan anak untuk kami sebesar cabe rawit pun boleh. Akan kami rawat anak itu dengan penuh kasih sayang” pintanya. 

Hari pun berganti hari, Pak Tani dan Bu Tani melaluinya seperti biasa. Namun, ada perubahan yang tanpa mereka sadari telah terjadi. Doa yang mereka ucapkan di tengah malam lalu telah dikabulkan. Dua minggu setelah itu, Bu Tani merasakan badannya mual dan sakit-sakit. Mereka berdua menganggap itu hanya sekedar sakit perut biasa. Jadi, Bu Tani tetap melakukan kegiatan hari-harinya. 

Bu Tani tak pernah tahu kalau dia sedang mengandung seorang bayi. Perut Bu Tani masih rata dan tidak membesar. Hari demi hari dilaluinya sampai di suatu ketika, Bu Tani merasakan sakit perutnya sangat luar biasa. Sakit yang dirasakannya tidak sama seperti sembilan bulan yang lalu. Pak Tani kasihan melihat kondisi istrinya seperti itu. Dia ingin membawa istrinya untuk diperiksa ke dukun beranak. Tapi Pak Tani tak bisa keluar dari rumahnya. Hujan lebat disertai dengan halillintar membuat Pak Tani terpaksa menemani istrinya di rumah. 

Rasa sakit Bu Tani semakin berkurang. Tanpa Bu Tani sadari, dia telah melahirkan bayi kecil. Ketika Bu Tani hendak bangun, jatuhlah bayi mungil yang menangis sangat kencang. Awalnya Bu Tani tak mempedulikan tangisan itu. Namun semakin lama tangisan yang didengar mereka mirip dengan tangisan bayi. Lalu Bu Tani bertanya, “Suara apa itu?” 

“Seperti suara tangisan bayi. Suaranya disekitar sini!” tunjuk suami Bu Tani. 

Lalu diambilnya bayi itu dan langsung dimandikan. Tangisannya sangat kencang dan memekakkan telinga. Meskipun badannya kecil, tapi suaranya kalah puluhan manusia lain. Bayi itu sekecil cabe rawit. Bu Tani dan Pak Tani sama sekali tidak sedih memiliki anak sebesar itu. Mereka sangat bersyukur karena Allah telah mengabulkan permintaan mereka selama puluhan tahun lamanya. Tangis kebahagian membasahi pipi Bu Tani. Tiada rasa syukur yang paling besar yang bisa diucapkannya sekarang. Mereka telah berhasil memiliki impian yang diidamkan selama ini. 

“Kita harus menjaga bayi ini dengan baik, kalau tidak dia akan mudah hilang” 

“Dengan suara selengking itu kita tak perlu khawatir” 

Bayi itu pun dirawat dengan sangat baik oleh kedua orangtuanya. Sungguh ajaib, hanya beberapa bulan saja dia sudah tumbuh menjadi perempuan yang manis. Orangtuanya sangat lama mencari nama yang cocok untuk anak perempuan mereka. Akhirnya mereka setuju memberi nama anak perempuannya dengan Putroe Campli Ubiet. 

Suami istri itu pun semakin hari semakin tambah sayang sama Putroe Campli. Tak pernah terdengar cacian dan sindiran untuk anaknya itu. Putroe Campli semakin tambah pintar berbicara. Setiap hari dia membaca dan menulis bersama ibu dan ayahnya. Putroe rajin membantu orangtuanya berkebun. Karena sering melihat ayah dan ibunya berkebun, dia semakin mahir. Setelah mereka berkebun, ayah Putroe Campli mengajari dirinya berenang di sungai dekat rumah. Putroe sangat senang sekarang dia sudah mahir berenang. 

Ketika panen tiba, Pak Tani pergi ke pasar untuk menjual hasil panen seperti biasa yang dia lakukan. Terkadang, Pak Tani mengajak Putroe Campli dan ibunya untuk berbelanja pakaian, membeli buku dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Putroe Campli melihat keramaian pasar, dia semakin tertarik untuk pergi kesana. Dan saat panen hasil kebun selalu ditunggu-tunggu oleh Putroe Campli. 

Putroe Campli senang sekali jika ayahnya membawa pulang buku yang dibeli di pasar. Semua buku-buku itu habis dibaca olehnya. Dan dia bisa dengan mudah menceritakan kembali isi buku itu. Di suatu pagi, ayahnya hendak pergi ke pasar. Putroe Campli memaksa ayahnya untuk mengijinkan dirinya menemani sang ayah. Dia sangat kasihan melihat ayah yang sudah tua harus berjalan cukup jauh menuju pasar. Pak Tani pun mengijinkan anak perempuannya ikut. 

Selama dalam perjalanan membawa hasil panen menuju pasar, Pak Tani menarik gerobaknya sendiri. Putroe Campli berjalan di belakang gerobak sambil mendorong pelan. Tanpa disangka-sangka, ternyata Putroe Campli memiliki kekuatan ajaib yang cukup besar yang membuat ayahnya terjatuh. Ayah Putroe Campli tak menyangka kenapa bisa gerobak yang ditariknya tiba-tiba meluncur kencang. 

“Aneh, kenapa gerobak tiba-tiba kencang sendiri?” 

“Tadi aku yang menolaknya, yah” 

“Ayah tak percaya, mana mungkin kamu sanggup mendorong gerobak sebesar itu” 

“Kalau ayah tak percaya, coba lihat saja aku yang bawakan gerobak ini” 

Akhirnya gerobak itu ditarik oleh Putroe Campli. Ayahnya disuruh naik ke atas gerobak. Sungguh menakjubkan, seperti berlari gerobak itu ditariknya sampai ke pasar. Ayah Putroe sangat kagum memiliki anak yang kecil tapi tenaganya sangat hebat. 

Semenjak Putroe menemani ayahnya ke pasar, kini sudah satu minggu ayahnya tak sanggup bangun dari tempat tidur. Ayahnya sudah sering sakit-sakitan. Putroe Campli selalu menunggui ayahnya yang sakit itu. Dia bercerita dan membuat ayahnya tertawa. Dia tau, mungkin tak akan lama lagi dia akan berpisah dengan ayahnya itu. 

“Hati-hatilah dengan kekuatan yang kamu miliki. Jangan sampai kamu melukai orang lain” pesan ayahnya. 

“Baik ayah. Aku tak akan mengganggu orang dengan kelebihanku ini” 

Dua hari kemudian, ayahnya meninggal dunia. Dia tak akan bisa lagi melihat ayah untuk selamanya. Dia dan ibunya sangat sedih. Setelah kematian ayahnya itu, Putroe Campli menghabiskan waktu berkebun bersama ibu. Mereka tak lagi seceria dulu, namun Putroe Campli tak boleh menangisi kepergian ayahnya. 

“Ayahmu sudah dipanggil duluan oleh Allah. Kita tidak boleh membuat dirinya tersiksa karena tangisan kita di bumi ini” 

“Kenapa bu?” 

“Orang yang sudah meninggal akan disiksa di alam kubur. Jadi jika kita sayang padanya kita harus mendoakan dan tak boleh menangis setiap hari” 

Kemudian Bu Tani mengalihkan pembicaraan. “Sudah lama kita tidak punya garam ya nak?” 

“Iya, besok biar aku saja yang ke pasar untuk menjual hasil kebun ini” 

“Jangan, biar ibu saja. Atau kita berdua yang pergi, bagaimana?” 

“Setuju bu” 

Mereka berdua pergi ke pasar keesokan harinya. Ibu Putroe Campli memanggul keranjang sayur. Dari hasil sayur yang dijual itulah mereka membeli garam, gula dan beberapa potong pakaian bekas. Sebenarnya Putroe Campli tak tega melihat ibunya pergi memanggul keranjang sayur setiap minggu. Tubuh ibunya yang sudah renta membuat Putroe Campli ketakutan. Dia merasa takut jika dia akan kehilangan seorang ibu. 

“Bu, minggu depan yang ke pasar aku saja ya? Aku khawatir karena ibu sudah tua nanti sakit seperti ayah” lanjutnya. 

“Ah, ibu masih kuat. Ibu kan pekerja keras, jadi jangan mengejek ibu ya?” 

“Bukan aku menyinggung ibu. Tapi aku mohon ibu tinggal di rumah saja ya?” 

“Kalau itu yang kamu minta dari ibu, ibu tak tau mau bilang apa. Ibu merasa masih sangat kuat untuk ke pasar. Malahan yang membuat ibu khawatir jika kamu pergi sendirian kesana” jelas ibu. 

“Ibu cukup mengizinkan saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri, bu” 

“Kamu memang anak ibu yang lucu Putroe. Ya sudahlah, ibu mengizinkan kamu pergi” 

“Terimakasih ibuku sayang?” Putroe memeluk ibunya. 

Dia sangat senang mendapat izin dari ibunya. Dia semakin tak sabar menunggu hasil panen dari kebun untuk pergi ke pasar. Dan tibalah hari yang ditunggu-tunggu Putroe Campli. 

“Hati-hati dijalan ya nak?” 

“Ia bu, doakan aku selamat pergi dan pulang” 

Putroe Campli menggunakan kekuatannya. Maka sebentar saja, dia sudah sampai di persimpangan jalan. Tanpa melihat kiri kanan, Putroe Campli menarik gerobak seolah-olah ia masih berada di jalan rumahnya. Tanpa disadari, tiba-tiba dari arah yang berlawanan datanglah sepeda pedagang. 

“Bruuuuuuk…praaaaak” 

Putroe Campli masih belum tau kalau dia sudah ditabrak oleh seseorang. Ketika dia menarik, gerobaknya tertahan. 

“Aduh..aduuuuuuuh. Siapa yang taruh gerobak ini di tengah jalan? Teriak pedagang itu 

“Ini gerobakku” 

Pedagang itu pun langsung ketakutan ketika mendengar suara lengkingan yang sangat besar. “Jangan-jangan ini gerobak hantu” batin pedagang. Tiba-tiba bulu kuduknya merinding. 

“Iih, mendingan aku kabur saja dari tempat yang bersyetan ini” 

“Ini aku, jangan takut” panggil Putroe Campli 

Semakin Putroe Campli berteriak memanggil pedagang itu, semakin cepat pedagang melepaskan barang dari sepedanya. Putroe Campli merasa heran kenapa pedagang itu melarikan diri. Ketika dia hendak melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba gerobak yang ditariknya terlepas semua. Putroe duduk sangat lama memikirkan nasib gerobak peninggalan ayahnya itu. “Bagaimana aku kepasar? Kasihan harta ayah sudah aku hancurin” 

Dia pun duduk sambil menunggu orang yang akan melewati jalan itu. Namun sudah setengah hari dia menunggu, tak satupun orang yang muncul. Memang daerah tempat tinggal Putroe sangat sepi. Yang paling banyak monyet dan babi hutan. 

Putroe kemudian bangun dan melihat isi keranjang pedagang tadi. Alangkah terkejutnya, dia melihat ada banyak pakaian baru dan uang. Akhirnya dia membawa pulang keranjang pedagang ke rumahnya. 

“Mana gerobak kita?” 

“Gerobak sudah hancur di persimpangan jalan bu. Aku membawa keranjang yang ditinggal oleh pedagang tadi yang ketakutan setelah menabrak gerobak kita. Tadi ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku ditabrak sama pedagang ini bu. Aku tak tau mengapa dia menabrak gerobak kita. Dia pikir gerobak itu sengaja diletakkan oleh seseorang di tengah jalan. Namun aku bilang kalau gerobak itu milikku. Ketika dia mendengar suaraku, pedagang itu langsung melepaskan keranjang ini dan mengayuh sepedanya sekencang mungkin. Jadi aku menunggu lama sampai pedagang itu kembali.” 

Setelah kejadian itu, Putroe Campli mulai dilarang pergi ke pasar. Ibunya tak mau membuat orang-orang ketakutan. Siapa yang tak takut mendengar suara lengkingannya itu, belum lagi badannya yang kecil tak mudah dilihat orang. 

Meskipun Putroe Campli tak mendapatkan izin ke pasar. Namun diam-diam, tanpa sepengetahuan ibunya dia pergi kepersimpangan itu. Cabe rawit pun membuat gerobak baru yang kecil. Tujuannya untuk menjual sayuran itu di persimpangan jalan. Putroe memang cerdas, pedagang-pedagang yang lewat mau membeli dan bahkan memberi barang dagangnya untuk Putroe. 

Kehidupan Putroe Campli semakin makmur. Mereka tak pernah lagi hidup kesusahan. Putro sering sekali membantu para pedagang dengan tenaganya yang besar itu. Putroe Campli tak mau menerima pemberian cuma-cuma tanpa membantu. Akhirnya kekuatan Putroe Campli tersebar di seluruh rakyat Aceh Selatan. Putroe Campli sangat senang bisa berguna untuk orang banyak.

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar