Pages

Rahasia Seru di Ujung Indonesia



Oleh Nasya Almirante

Kelas V SD Negeri 7, Trienggadeng, Pidie Jaya

Pada hari Sabtu, bulan September tahun 2024, aku dan keluargaku memulai petualangan yang tak akan pernah kulupakan. Kami akan pergi ke tempat yang katanya adalah ujung paling barat Indonesia, yaitu Pulau Sabang. Ayah bilang, di sana ada titik Kilometer Nol, tempat dimulainya semua pengukuran jarak di Indonesia. Aku belum pernah ke sana, jadi aku sangat bersemangat!

Pagi-pagi sekali, langit Banda Aceh masih gelap ketika kami berangkat ke pelabuhan Ulee Lheue. Ibu menyiapkan bekal, ayah mengecek tas, dan aku membantu adikku membawa ranselnya. Kami semua senang, walaupun masih mengantuk. Tapi petualangan tidak mengenal lelah!


Kami naik kapal laut yang besar. Kapalnya seperti rumah raksasa yang mengapung! Perjalanan ke Pulau Sabang memakan waktu 45 menit, tapi selama itu aku merasa sedang berlayar seperti seorang penjelajah laut. Kami duduk dekat jendela dan melihat laut luas yang biru. Ombaknya lembut, seperti mengayun kami dengan tenang.


“Apa kamu tahu, Nak,” kata ayah sambil menunjuk ke laut, “di ujung sana ada tempat yang menunjukkan awal Indonesia.Kita akan menginjaknya hari ini.”

Aku membayangkan seperti apa tempat itu. Rasanya seperti akan menemukan harta karun.


Sesampainya di pelabuhan Sabang, kami langsung merasakan angin laut yang segarPulau ini benar-benar indah.Banyak pohon, burung, dan udara bersih. Kami menyewa mobil seharga 800 ribu rupiah agar bisa keliling pulau dengan nyaman. Sopirnya ramah dan tahu banyak cerita menarik tentang Sabang.


Perjalanan berkeliling pulau ternyata tidak mudah.Jalannya sempit, naik turun, dan berliku-liku. Seperti naik roller coaster, tapi di dalam mobil! Adikku mulai mual dan muntah. Wajahnya pucat dan lemas. Ibu segera membantunya dan memberi minyak angin. Kami berhenti sebentar, membuka jendela, dan menghirup udara segar.

“Kadang dalam petualangan, ada rintangan,” kata ayah sambil tersenyum. “Tapi kita tetap bisa menikmatinya, asal saling membantu.”


Saat mobil berjalan lagi, kami melihat banyak monyet di pinggir jalan. Mereka duduk santai di atas batu, bahkan ada yang membawa anaknya. Lucu sekali! Tapi kami tidak berani membuka jendela, karena mereka kadang suka mendekat kalau melihat makanan.

Akhirnya, kami sampai di tempat yang paling kutunggu Titik Kilometer Nol Indonesia.


Di sana ada sebuah tugu besar yang megah. Tulisan di atasnya membuatku merinding: “Kilometer Nol Indonesia.” Di sinilah Negeri kita dimulai. Laut biru terbentang sejauh mata memandang, dan burung-burung beterbangan bebas.Aku berdiri tegak, merentangkan tangan, dan berkata dalam hati, “Aku bangga menjadi bagian dari negeri ini.”


Kami berfoto bersama, lalu berkeliling dan melihat toko kecil yang menjual oleh-oleh. Aku membeli gantungan kunci bergambar tugu Kilometer Nol sebagai kenang-kenangan. Itu adalah lambang bahwa aku pernah menginjak tempat ini, tempat dimulainya semua jarak di negeri kita.


Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Iboih,salah satu pantai terkenal di Sabang. Di sana air lautnya jernih sekali, sampai bisa melihat dasar laut! Banyak wisatawan snorkeling, tapi kami memilih bermain di tepi pantai karena ombak sedang besar. Aku dan adikku membuat istana pasir,lengkap dengan menara dan bendera kecil dari daun. Kami tertawa, berlarian, dan menikmati hari yang cerah. Ayah danibu duduk di bawah pohon, tersenyum melihat kami.


“Kadang petualangan paling indah adalah yang kita jalani bersama keluarga,” kata ibu sambil mengusap rambutku.

Siangnya, kami makan ikan bakar di warung sederhana. Ikan segar langsung dari laut, sambal pedas, dan sayur asam hangat. Sungguh nikmat! Kami makan sambil memandangi laut. Aku merasa seperti penjelajah yang baru saja menemukan tempat rahasia.


Petualangan kami belum selesai. Sopir membawa kami ke sebuah bukit tinggi. Dari atas bukit, kami bisa melihat kotaSabang dari ketinggian. Rumah-rumah tampak kecil, dan kapal-kapal terlihat seperti mainan di lautan. Di sana aku merasa seperti berada di dunia lain yang tenang, damai, dan penuh keajaiban.


Hari mulai sore. Sinar matahari mulai redup perlahan, warnanya berubah menjadi oranye keemasan. Langit seperti dilukis dengan warna-warna hangat yang indah. Kami merasa lelah tapi sangat puas dengan perjalanan hari itu. Sopir kami mengantar kami kembali ke penginapan kecil yang sudah kami pesan sebelumnya. Penginapan itu berada di dekat pantai, tidak jauh dari pelabuhan.


Begitu sampai di penginapan, kami langsung mandi dan beristirahat sejenak. Badanku lengket karena seharian berada di luar. Air dingin dari kamar mandi membuat tubuhku segarkembali. Aku berbaring sebentar sambil melihat langit dari jendela kamar. Di kejauhan, suara ombak terdengar lembut, seperti lagu pengantar tidur.


Saat malam tiba, perut kami mulai lapar. Ibu berkata, “Ayo, kita cari makan malam yang enak.” Kami pun keluar bersama-sama menyusuri jalan utama yang penuh lampu-lampu kuning yang hangat. Di sisi jalan, banyak warung makan dan kedai-kedai kecil yang menjual aneka makanan.


Setelah berjalan sebentar, kami menemukan sebuah warung makan sederhana yang ramai dikunjungi orang. Menu andalannya adalah ayam penyetmakanan favoritku! Kami pun masuk dan memesan masing-masing satu porsi ayam penyet lengkap dengan sambal, nasi hangat, dan lalapan.Rasanya? Wah, sangat enak! Daging ayamnya empuk, kulitnya renyah, dan sambalnya pedas menggoda. Aku sampai berkeringat saat memakannya, tapi tetap tidak bisa berhenti.Adikku juga makan dengan lahap, dan ibu terlihat bahagia melihat kami menikmati makanan.

Setelah makan, ayah berkata, “Ayo, kita lanjutkan malam ini dengan pergi ke Tugu Merah Putih.”


Aku tidak tahu tempat itu, tapi karena semangat petualanganku belum habis, aku setuju. Kami naik motor yang di sewakan ayah menuju tugu itu. Suasananya sangat meriah! Lampu-lampu berwarna-warni menghiasi jalan menuju Tugu Merah Putih, dan saat kami sampai, aku melihat banyak orang berkumpul. Ada anak-anak yang bermain, orang tua yang duduk-duduk santai, dan para penjual jajanan di sekitar tugu.


Di sekitar tugu, ada berbagai macam wahana permainan.Ada komidi putar mini, kereta-keretaan, sepeda lampu yang bisa disewa, dan balon warna-warni dijual di mana-mana. Aku dan adikku langsung tertarik pada sepeda lampu. Kami menyewa dua buah sepeda kecil dan mengelilingi taman yang ada di sekitar tugu. Sepedanya menyala-nyala seperti kendaraan luar angkasa!

“Tunggu aku!” teriakku sambil mengejar adikku yang sudah duluan melaju. Kami tertawa bersama, seperti tidak merasa lelah sama sekali. Suara tawa anak-anak, musik dari wahana, dan bau jagung bakar memenuhi malam itu. Suasana hangat dan bahagia terasa di udara.


Setelah puas bermain, kami duduk bersama di bawah tugu. Tugu Merah Putih berdiri tinggi dan kokoh, dengan bendera Indonesia berkibar di puncaknya. Kami memandanginya dalam diam.

“Merah itu berani, putih itu suci,” kata ayah pelan. “Negeri kita luas dan indah, tapi juga butuh anak-anak seperti kalian untuk menjaganya.”

Aku mengangguk. Malam itu terasa sangat istimewa. Bukan hanya karena makanan yang enak dan permainan yang seru, tapi karena aku merasakan sesuatu yang lebih dalam—rasa bangga menjadi anak Indonesia.


Akhirnya, kami pulang ke penginapan. Tubuhku lelah sekali, tapi hatiku penuh kenangan. Saat aku berbaring di tempat tidur, aku memikirkan semua yang terjadi hari itu: naik kapal, berkeliling pulau, melihat monyet, mencapai Kilometer Nol, bermain di pantai, menikmati ayam penyet, dan mengayuh sepeda lampu di bawah bendera Merah Putih.

Sebelum menutup mata, aku berkata dalam hati :

“Hari ini adalah petualangan yang tak akan pernah kulupakan.Aku telah melihat keindahan Indonesia dari ujung paling baratnya. Dan aku ingin suatu hari, menjelajah semua sudut lainnya bersama orang-orang yang kucintai.”


Keesokan harinya . . . . 

Matahari pagi menyambut kami dari balik tirai jendela. Hari itu adalah hari terakhir kami di Pulau Sabang. Walaupun aku ingin tinggal lebih lama, tapi aku juga senang karena hari ini kami akan berburu oleh-oleh!


Setelah sarapan, kami pergi ke pasar oleh-oleh yang terkenal di Sabang. Di sana, ibu memilih dengan hati-hati oleh-oleh khas Pulau Sabang. Kami membeli kue bakpia Sabang, yang katanya terkenal lezat dan hanya bisa ditemukan di sini. Kue itu dibungkus rapi dan harum baunya. Ibu bilang, kue ini akan diberikan kepada nenek dan keluarga di kampungsebagai tanda kasih sayang dan cerita petualangan kami.


Selain kue, aku dan adikku memilih kaus dengan tulisan “Pulau Weh – Sabang” di bagian depan. Warnanya cerah dan bahannya nyaman. Kami membeli beberapa kaus lagi untuk sepupu-sepupuku di kampung agar mereka juga bisa merasakan sedikit dari petualangan kami. Aku sudah membayangkan wajah mereka yang senang saat menerima oleh-oleh itu.


Setelah semua selesai, sopir kami yang baik mengantar kami ke pelabuhan Balohan. Kali ini kami tidak banyak bicara di dalam mobil. Mungkin karena semuanya tahu bahwa petualangan kami sudah hampir selesai. Tapi wajah kami tetap tersenyum.


Sesampainya di pelabuhan, kami mengucapkan terima kasih kepada sopir. Ayah bahkan memberinya sedikit oleh-oleh sebagai tanda terima kasih. Kami naik ke kapal yang akan membawa kami kembali ke Banda Aceh. Kali ini, ombak terasa lebih tenang, dan angin laut seperti mengucapkan selamat tinggal.

Aku memandang Pulau Sabang dari kejauhan. Pulau itu semakin kecil, tapi kenangan yang kutinggalkan di sana akan selalu ku ingat dalam hatiku.

“Liburan ke Pulau Sabang kali ini sangat seru,” gumamku sambil memeluk oleh-oleh di pangkuanku.
Aku ingin kembali lagi suatu hari nanti bukan hanya untuk bermain, tapi juga untuk menjelajah lebih jauh dan mencintai negeriku lebih dalam.”

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar