Oleh Lia Fahrudin
Owner Rumah Batik Manunggal Jati dan Pengurus Satupena Kabupaten Blora
Hari itu, ruang kelas berubah jadi sedikit berbeda. Meja-meja disusun melingkar dan di tengahnya, terdapat canting, malam, kain mori, dan gambar motif daun jati.
“Anak-anak, hari ini kita akan membatik,” ujar Bu Guru Lestari dengan senyum hangat.
Serempak, suara kecil mulai bersahutan.
“Aduh, panas, Bu…”
“Susah banget pegang cantingnya.
“Kapan selesainya, Bu?”
Bu Guru Lestari hanya tertawa kecil. Ia tahu, kesabaran memang bukan hal yang mudah untuk anak-anak kelas lima SD. Tapi dia juga percaya, dari batik, anak-anak bisa belajar lebih dari sekadar menggambar kain.
Setelah beberapa menit mencoba, Arga menumpahkan malam ke kain. Lintang malah mengeluh karena tangannya pegal. Tapi Bu Guru Lestari tidak marah.
“Anak-anak,” katanya, “motif yang kalian buat ini namanya Tunggak Jati. Artinya keteguhan. Dahulu, nenek moyang kita membuat motif ini sebagai lambang harapan saat keadaan sulit.”
“Harapan?” tanya Rani pelan.
“Iya. Meski pohon jati ditebang, tunggaknya tetap kuat dan bisa tumbuh lagi. Seperti kita, harus terus semangat meski lelah atau gagal.”
Suasana kelas mendadak hening. Anak-anak saling menatap kain masing-masing. Pelan-pelan, mereka mulai menyadari: setiap goresan malam di kain bukan cuma seni, tapi cerita.
Setelah beberapa jam, karya mereka selesai. Tidak semua sempurna, tapi semuanya dibuat dengan sungguh-sungguh. Saat ditata di depan kelas, Bu Guru Lestari bertepuk tangan.
“Kalian luar biasa. Hari ini, kalian bukan hanya belajar membatik, tapi juga belajar tentang ketekunan, kerja sama, dan menghargai setiap proses.”
Wajah anak-anak berseri. Mereka pulang membawa kain batik, tapi yang paling penting: mereka pulang dengan hati yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar