Oleh Rika Puji Lestari
Anggota Satupena Kab. Blora
Di sebuah ladang hijau yang subur, hiduplah seekor kelinci putih bernama Lili. Ia dikenal bukan karena larinya cepat, tapi karena hobinya yang tidak biasa: membaca.
Setiap pagi, ketika teman-temannya bermain lompat-lompatan, Lili duduk di bawah pohon sambil membuka halaman demi halaman buku. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Kebanyakan hewan muda di hutan lebih suka bermain atau mencari wortel liar. Namun Lili justru mengumpulkan lembaran-lembaran kertas yang terbang terbawa angin dari desa manusia.
Dengan cermat, Lili menyusun potongan-potongan kertas itu dan mulai belajar mengenali huruf. Ia bahkan membuat rak buku kecil dari batang dan dedaunan.
Dalam ilmu perilaku hewan, minat terhadap objek seperti buku disebut curiosity-driven behavior, perilaku yang mendorong eksplorasi dan pembelajaran secara alami.
Lili percaya bahwa dengan membaca, ia bisa mengetahui dunia di luar hutan. Ia membaca tentang bintang, musim, dan bahkan tentang bagaimana wortel tumbuh dari biji kecil.
Suatu hari, Lili membaca tentang konsep waktu dan jam. Ia mulai mengamati pergerakan matahari, lalu membuat jam matahari sederhana dengan tongkat dan bayangan.
Teman-temannya menganggap itu aneh. "Apa gunanya membaca, Lili? Kita bisa hidup tanpa buku," kata Tobi, kelinci jantan yang senang berlari cepat.
Namun Lili menjawab dengan lembut, "Dengan membaca, aku bisa belajar hal yang tidak bisa kulihat langsung. Ilmu pengetahuan membuatku lebih memahami dunia."
Fenomena ini dikenal dalam pendidikan sebagai literacy enrichment, di mana anak atau makhluk muda mengalami peningkatan pemahaman melalui paparan teks.
Suatu pagi, hutan diguyur hujan lebat yang menyebabkan sungai kecil meluap. Sarang-sarang kelinci terendam air, dan banyak yang kebingungan mencari tempat berteduh.
Lili segera mengingat buku tentang geografi yang pernah ia baca. Ia tahu, air mengalir ke tempat rendah, dan daerah dataran tinggi lebih aman saat banjir.
Ia memimpin teman-temannya menuju bukit kecil yang jarang mereka datangi. Meski ragu, kelinci-kelinci itu akhirnya mengikuti Lili karena tak ada pilihan lain.
Benar saja, bukit itu aman dan kering. Mereka semua selamat dari banjir. "Bagaimana kau tahu tempat ini?" tanya Tobi keheranan. Lili tersenyum, "Aku membacanya."
Sejak saat itu, teman-teman Lili mulai berubah pandangan. Mereka menjadi lebih tertarik dengan buku-buku sobekan yang dulu hanya dianggap sampah.
Lili kemudian membuat “Perpustakaan Daun” — tempat di mana ia menyimpan dan merawat semua potongan bacaan yang ia kumpulkan dari waktu ke waktu.
Ia menempelkan kertas di batu lempeng agar tak mudah terbang, dan memberi label menggunakan arang. Perpustakaan itu jadi tempat belajar bersama.
Di dunia manusia, perpustakaan adalah pusat literasi dan pertumbuhan intelektual. Ternyata, di hutan pun fungsi itu bisa muncul secara alami berkat semangat satu kelinci.
Lili mulai mengajar teman-temannya membaca huruf, mengenal angka, dan bahkan membuat jurnal harian menggunakan simbol sederhana yang mereka sepakati bersama.
Peneliti menyebut ini sebagai emergent literacy, atau proses alami belajar literasi yang muncul dalam konteks sosial dan penuh makna.
Kelinci-kelinci lain mulai ikut menulis di tanah dengan ranting, mencatat jumlah wortel yang mereka temukan, dan menulis cerita pendek tentang petualangan mereka.
Setiap malam minggu, mereka berkumpul di bawah sinar bulan untuk membaca bersama. Aktivitas ini membentuk kebiasaan berpikir kritis dan mempererat ikatan sosial.
Lili menjadi inspirasi, bukan karena dia paling pintar, tapi karena ia membagikan ilmunya dengan hati. Ia percaya bahwa membaca adalah jendela dunia.
Kini, di sudut hutan yang tenang itu, terdapat sebuah komunitas kecil yang mencintai buku dan pengetahuan. Semua bermula dari seekor kelinci yang suka membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar