Oleh Rika Puji Lestari
(Anggota Satupena Kab. Blora)
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah dan pepohonan, tinggal seekor kucing belang bernama Miko. Tidak seperti kucing lain, Miko punya mimpi yang sangat unik: ia ingin bisa terbang.
Setiap pagi, Miko duduk di atas genting rumah Pak Jaya, menatap burung-burung yang terbang bebas di langit biru. "Andai aku punya sayap seperti mereka," gumamnya sambil mengibaskan ekornya.
Keinginan itu tidak hanya menjadi mimpi. Miko mulai melakukan percobaan terbang dari tempat-tempat tinggi, seperti pagar, pohon mangga, bahkan atap kandang ayam. Tapi hasilnya selalu sama—ia jatuh terguling.
Suatu hari, Miko mendengar percakapan dari anak-anak yang sedang belajar tentang gravitasi dan gaya angkat. Mereka bicara tentang pesawat terbang yang bisa mengatasi berat karena memiliki sayap dan mesin.
Pikiran Miko langsung bekerja. “Jika burung bisa terbang karena sayap dan pesawat bisa terbang karena mesin, mungkin aku juga bisa kalau punya alat bantu,” pikirnya serius.
Mulailah Miko mencari bahan-bahan di sekitar desa. Ia menemukan daun pisang, potongan kardus, dan tali rafia. Dengan bantuan angin dan keberanian, ia merakit alat terbang sederhana dari benda-benda itu.
Setelah mencoba berkali-kali, alat terbang itu tetap tidak berhasil. Tapi Miko tidak menyerah. Ia mulai mengamati lebih saksama bagaimana burung mengepakkan sayap dan bagaimana layang-layang terbang saat tertiup angin.
Pada hari yang cerah, datang seorang peneliti muda bernama Kak Alin ke desa. Ia membawa drone dan perlengkapan eksperimen fisika. Miko penasaran dan diam-diam mengikuti Kak Alin ke lapangan.
Kak Alin menerangkan pada anak-anak desa bahwa terbang bisa dijelaskan melalui ilmu fisika: gaya angkat harus lebih besar dari gaya gravitasi. Ini bisa dicapai melalui bentuk aerodinamis dan kecepatan aliran udara.
Miko mengamati drone kecil yang terbang dengan stabil. Ia juga melihat bentuk sayap drone itu menyerupai sayap burung. Sebuah ide cemerlang muncul di kepalanya.
Malam itu, Miko menyelinap ke bengkel tua di belakang rumah Pak Jaya. Dengan bantuan alat dan bahan dari sana, ia merancang "sayap" baru berbentuk melengkung dan ringan, seperti sayap burung.
Beberapa hari kemudian, Miko mencoba alat barunya dari atas bukit kecil. Angin bertiup cukup kencang. Dengan napas dalam, ia melompat sambil mengepakkan sayap rakitannya.
Ajaib! Miko tidak langsung jatuh. Ia melayang sebentar, seperti glider! Meski akhirnya ia terguling di semak, rasa senangnya luar biasa. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar hampir terbang.
Anak-anak desa yang melihat kejadian itu bertepuk tangan. Kak Alin yang kebetulan lewat pun mendekat dan berkata, “Eksperimenmu luar biasa, Miko. Kau belajar dari pengamatan dan mencoba solusi sendiri. Itu ilmiah sekali!”
Miko mengeong senang. Ia memang belum bisa terbang seperti burung, tapi ia sudah menggunakan sains untuk mendekati mimpinya. Dan itu adalah langkah awal yang sangat penting.
Sejak hari itu, Miko dijuluki “Si Kucing Terbang” oleh anak-anak desa. Ia sering diajak Kak Alin untuk menemani kelas sains sore, menjadi contoh semangat belajar dan mencoba.
Petualangan Miko mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya untuk manusia. Siapa pun yang punya rasa ingin tahu, bisa belajar dan membuat penemuan—bahkan seekor kucing sekalipun.
Kini, setiap kali Miko naik ke atap, ia tidak hanya bermimpi. Ia merancang. Ia menguji. Dan yang paling penting, ia percaya bahwa mimpi bisa dicapai lewat keberanian dan logika.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, Miko benar-benar akan terbang lebih tinggi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar