Oleh Hendriyatmoko
Guru SMK Muda Cepu dan Anggota Satupena Kabupaten Blora
Matahari baru saja naik dari balik bukit, sinarnya menembus celah pepohonan dan menghangatkan kampung kecil tempat Fandra tinggal. Bocah kelas dua SD itu bangun lebih awal dari biasanya. Ia segera merapikan tempat tidurnya, mencuci muka, lalu membantu ibunya, Bu Tutik, menyiapkan sarapan. Ayahnya, Pak Atmojo, sudah bersiap di kebun sejak subuh.
“Bu, nanti habis makan, boleh Fandra mancing di embung, ya?” tanya Fandra sambil menyendok nasi goreng.
“Boleh, asal bantu Bapak dulu panenin cabai. Jangan lupa ajak teman-temanmu, biar ramai,” jawab Bu Tutik sambil tersenyum.
“Siap, Bu!”
Fandra memang anak yang rajin dan cerdas. Ia senang membantu orang tuanya, tapi juga punya segudang ide untuk bermain dan belajar. Salah satu hobinya adalah memancing. Bagi Fandra, memancing bukan sekadar hobi, tapi juga latihan kesabaran dan keberanian.
Setelah membantu ayahnya di kebun, Fandra segera mengayuh sepedanya ke rumah teman-temannya. Ia mengajak Vano, Ina, Fathan, Dominic, dan Arum. Mereka berenam sepakat membawa bekal, ember, dan alat pancing masing-masing ke embung di pinggir desa.
“Kalau beruntung, kita bisa bawa pulang ikan nila besar!” kata Dominic sambil menepuk ember kosongnya.
“Kalau nggak beruntung, kita bisa nyanyi aja bareng Arum,” goda Fathan yang membuat semuanya tertawa.
Setiba di embung, mereka memilih tempat yang teduh di bawah pohon rindang. Fandra segera menunjukkan keahliannya. Ia tahu titik-titik air yang dalam, tempat ikan biasa bersembunyi. Dengan cepat, ia merakit alat pancing dan melemparkan kail ke tengah.
Beberapa menit kemudian, pelampungnya bergerak.
“Dapat!” teriak Fandra penuh semangat. Seekor ikan nila besar menggeliat di ujung kailnya. Teman-temannya bersorak.
“Wah, hebat kamu, Dra!” puji Ina kagum.
Fandra hanya tersenyum. Ia mengajari Vano dan Arum cara memilih umpan yang tepat. Kepada Dominic, ia menjelaskan bagaimana membaca gerakan pelampung. Bahkan saat tali pancing milik Fathan kusut, Fandra membantunya meluruskan dengan sabar.
Hari itu mereka menangkap cukup banyak ikan. Bukan hanya dari embung, tapi juga dari danau kecil yang tak jauh dari situ. Sore menjelang, mereka pulang dengan ember penuh ikan dan hati penuh gembira.
Sesampainya di rumah, Fandra membagi hasil tangkapannya ke tetangga. Ia tahu, sebagian warga sedang kesulitan membeli lauk karena harga naik.
“Ini buat Mbak Rini, ini buat Pak Surya,” katanya sambil membagikan ikan-ikan dengan ramah.
Pak Atmojo menepuk bahu putranya. “Kamu memang pemancing kecil yang hebat, Nak. Tapi lebih hebat lagi hatimu yang suka berbagi.”
Fandra tersenyum lebar. Hari itu, bukan hanya ikan yang ia dapat, tapi juga kebahagiaan karena bisa membantu orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar