Diceritakan kembali oleh Marzalina
sumber : Harun, Ramli (alih aksara). 1981. Mara Karma. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Di sebuah negeri antah-berantah, hiduplah seorang raja yang kaya raya bernama Indra Diwa. Pada suatu hari, sang raja melakukan sebuah musyawarah besar dengan mengundang para pembesar negeri dan seluruh rakyatnya. Sebuah penjamuan besar-besaran pun terjadi di istana.
Saat berlangsungnya musyawarah, datanglahs epasang suami istri pengemis ke istana. Seluruh undangan gempar dan mentertawakan penampilan pengemis yang sangat lusuh tersebut. Beramai-ramai mereka mengusir si pengemis agar meninggalkan istana. Ketika sang raja mendengar keributan di luar istana, beliau pun bertanya pada perdana mentri.
“Apa gerangan yang terjadi di luar sana?”
“Ampun baginda, di luar sana ada sepasang suami istri pengemis yang hendak masuk dan mengemis di istana dengan penampilan yang tak elok dipandang. Oleh karenanya, kami mengusir mereka agar tak mengotori istana,” ujar perdana mentri.
“Iya, tepat sekali tindakan kalian. Sekarang kuperintahkan kalian untuk mengusir pengemis itu ke hutan. Aku tak ingin melihat mereka lagi berkeliaran di sekitar istana,” perintah sang raja.
Berdasarkan titah raja, maka kedua pengemis itu diusir ke hutan yang jaraknya sangat jauh dari istana. Di dalam, suami istri pengemis tersebut menangis sedih karena diperlakukan sangat kejam oleh raja dan seluruh rakyat. Keesokan harinya, suami pengemis mencoba peruntungan dengan mengemis lagi di rumah orang kaya yang berada di perkampungan tepi hutan. Namun, sayangnya warga kampung tersebut juga mengusirnya dengan kejam.
Dalam keputusasaannya, pengemis tersebut hanya bisa meratapi nasibnya kepada Allah. Malam pun tiba dan ia pulang dengan tangan kosong ke rimba.
“Kenapa engkau sedih suamiku?” sambut sang istri.
“Maafkan aku, istriku. Daku belum bisa membawakanmu makanan.”
“Tak, apa, esok pasti Allah melimpahkan rahmatnya kepada kita,” ujar sang istri menghibur suaminya.
Keaeokan harinya, pagi-pagi sekali sang suami mulai memasuki hutan untuk mencari segala jenis tumbuhan dan buah-buahan yang bisa dimakan. Ia tak ingin mengemis lagi pada manusia-manusia sombong di kota. Rahmat Allah, ia menemukan berbagai buah-buahan dan tanaman yang bisa dimakan.
Tak lama waktu berselang, istri si pengemis pun mengandung anak pertama mereka. Dalam masa tersebut sang istri sangat menginginkan buah mangga yang ada di kebun istana. Ia sangat mengharapkan suaminya mau meminta buah mangga tersebut pada penjaga kebun istana.
“Istriku itu, tak ingatkah dulu kita diusir dengan hinanya dari istana? Saya tak ingin hal serupa itu menimpa kita lagi,” jawab suami.
“Apa salahnya dicoba suamiku, barang kali mereka sudah berubah. Saya sangat menginginkan mangga itu,” pinta sang istri.
“Baiklah, saya akan coba memintanya,” jawab suami akhirnya.
Datanglah suami tersebut ke wilayah kerajaan. Seluruh orang ingin mengusir si pengemis, tetapi ada salah seorang diantra mereka yang mencegahnya.
“Jangan diusir dulu, mungkin dia ada maksud tertentu kembali ke kerajaan,” ujar orang tersebut.“Lekas katakan apa tujuanmu datang ke sini?” tanya raja Indra Diwa yang tiba-tiba datang.
“Maaf paduka, maksud kedatangan saya kemari karena istri saya yang sedang mengandung sedang menginginkan mangga yang berada di kebun istana. Tolong berikan saya satu buah saja, meskipun itu buah yang sudah hampir busuk dan tak dibutuhkan lagi,” ucap si pengemis.
Mereka semua pun akhirnya iba kepada si pengemis. Raja pun memerintahkan tukang kebun istana untuk memberikan buah mangga. Kemudian orang-orang berbondong-bondong memberi bantuan kepada pengemis. Pengemis heran, namun sangat bersyukur kepada Allah yang sudah meluluhkan hati orang-orang tersebut.
* Dimuat cetak di Majalah Anak Cerdas ediÅŸi 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar