Oleh Anton Sucipto, Sp
Wiro masih duduk di atas rerumputan, di depan gerbang sekolah. Sepertinya sedang melamun dan tidak bersemangat. Tiba-tiba dikagetkan dengan kemunculan Bimo, teman akrab di sekolahnya.
“Kenapa kamu tampak tak bersemangat? seperti belum makan saja!” seru Bimo.
“Iya, begitu!" sahut Wiro singkat.
“Kawanku yang baik, ayolah bercerita, apa yang sedang kamu pikirkan!" ujar Bimo.
“Aku sedang kecewa nih!” kata Wiro.
“Kenapa kamu kecewa?” Bimo heran.
“Aku kesal, belum punya sepeda baru! Sedangkan bulan depan ingin ikut pertandingan balapan sepeda tingkat sekolah dasar di kecamatan!” Wiro mencabuti rerumputan di depan gerbang sekolah itu.
“Sabar temanku! Aku yakin Ayahmu tentu mengetahui keinginanmu untuk ikut lomba itu!” timpal Bimo.
Wiro bangkit dari duduknya. Begitu juga dengan Bimo. Mereka melangkahkan kakinya secara bersamaan, berlalu dari tempat itu. Mereka kembali menuju ke rumah masing-masing.
Pada malam harinya, Wiro tampak sedang menonton televisi di ruang keluarga. Dia sedang asyik makan roti dari singkong, roti favorit alias kesukaannya. Beberapa saat kemudian, Pak Sastro, ayahnya Wiro, datang menghampiri.
“Kamu sudah mengerjakan PR dan tugas sekolah belum! Jangan terlalu sering menonton televisi!” kata Pak Sastro.
“Aku sudah mengerjakan PR dan tugas sekolah tadi,” sahut Wiro, fokus menonton televisi.
“Sekarang ke halaman rumah!” perintah Pak Sastro.
“Aku malas! Kenapa harus ke depan halaman sih!” Wiro kesal.
“Ya sudah! Kalau begitu sepeda yang tadi dibeli itu, akan dijual kembali besok di pasar!” ucap Pak Sastro. “Baiklah, aku akan ke depan!” sahut Wiro.
Wiro bergegas menuju ke halaman rumahnya. Dia melihat sebuah sepeda berwarna putih.
“Sepedanya bukan sepeda baru! Aku tak mau sepeda bekas itu!” Wiro tampak kesal sambil masuk ke rumah.
Wiro berjalan menuju ke kamarnya. Langkah kakinya seperti tak bertenaga, tak bersemangat lagi. Pak Sastro kemudian membawa sepeda itu, ke dalam rumah dan meletakannya di samping lemari di ruang tengah.
Pada esok harinya, Wiro seperti biasa menceritakan keluh kesahnya kepada Bimo, sahabat karibnya. Mereka sedang duduk di depan kelas, saat jam istirahat di sekolah.
“Untuk kesekian kalinya, kamu harus ingat satu hal!” kata Bimo serius.
“Satu hal yang mana! Maksudnya aku harus berpikiran positif begitu!” tanya Wiro tertunduk lesu.
“Nah itu jawaban yang ingin aku dengar dari sahabatku!” sahut Bimo melempar senyuman.
“Tapi….,” sesaat Bimo tak melanjutkan perkataannya.
“Tapi apa! Kau ingin sepeda baru, seperti yang di punyai Roni, anak pengusaha kaya itu!” ucap Bimo kesal.
“Bukan begitu maksudku. Aku hanya….,” Bimo kembali terdiam.
“Hanya apa? Hanya karena sepedamu itu sepeda bekas, lalu kamu tak semangat lagi untuk ikut lomba! Berarti kamu itu sudah kalah sebelum bertanding!” sahut Bimo.
“Lantas aku harus apa?” tanya Wiro ragu.
“Begini, bukan maksudku untuk menyuruhmu ikut lomba balap sepeda itu. Tapi ingatkah dengan ucapanmu sebulan yang lalu?” Bimo balik bertanya.
“Sebulan lalu? aku ingat!” Wiro mencoba mengingat kejadian sebulan lalu.
“Apa itu,” Bimo menunggu jawabannya.
“Aku ingin ikut lomba balap sepeda, agar ayahku bangga! Aku tak mau diremehkan lagi. Aku akan buktikan, kalau bisa menjuarai lomba itu!” Wiro tersenyum.
“Baiklah sobatku! Ayo ke perpustakaan, aku mau pinjam buku dongeng dan majalah!” Bimo bangkit dari duduknya, bergegas menuju ke perpustakaan.
Wiro menganggukkan kepala. Dia mengikutinya berjalan, dari belakang. Setelah tiba di perpustakaan, mereka asyik memilih dan mencari buku atau majalah yang ingin dipinjam. Beberapa saat kemudian, mereka sudah memegang buku di kedua tangannya.
“Aku tak menyangka bisa menemukan buku ini!” bisik Wiro girang.
“Buku apa itu?” tanya Bimo penasaran.
“Buku Metode meraih sukses menjuarai lomba balap sepeda!” sahut Wiro senang.
“Wah keren! Kamu beruntung! Semoga minggu depan keberuntungan itu juga akan menghampirimu! Aku tak sabar menanti kau jadi juara balap sepeda di kecamatan!” ucap Bimo tersenyum bangga.
Bimo merasa yakin dengan kemampuannya. Bagaimana tidak, waktu masih duduk di kelas 1 SD, Wiro berhasil menjadi pemenang balapan sepeda, meskipun hanya di lingkungan sekolahnya saja. Hanya dengan sepeda pinjaman dari sekolah, dia bisa jadi pemenangnya. Peristiwa itu terjadi 4 tahun yang lalu. Wiro memang tak punya sepeda. Oleh sebab itu, Bimo sering meminjamkan sepedanya kepada Wiro. Persahabatan mereka semakin akrab saja seiring berjalannya waktu.
Bel masuk telah berbunyi. Mereka segera masuk ke dalam kelas mengikuti pelajaran berikutnya.
Pada sore harinya, mereka terlihat sedang mengecat sepeda. Dengan memberi warna cat, Wiro merasa lebih bersemangat. Sepeda yang dulunya terlihat bekas dan usang, kini tampil beda. Sepedanya sudah mirip dengan sepeda baru.
“Terima kasih, Bimo!” kata Wiro merasa gembira.
“Sepedamu telah berubah seperti baru! Besok kita latihan di lapangan dekat sekolahan!” sahut Bimo sambil merapikan wadah cat di atas meja.
“Siap, komandan!” seru Wiro.
Wiro lalu mengajak Bimo makan bersama. Mereka makan nasi goreng dan sayur bayam, di ruang makan.
Seminggu lagi pertandingan balapan sepeda akan digelar. Wiro berlatih setiap hari setelah pulang sekolah. Tentunya dia latihan bersama dengan Bimo. Mereka sudah membaca isi buku tentang metode meraih sukses lomba balap sepeda. Mereka menerapkan dan mempraktikkan ilmu yang didapat dari buku itu. Meskipun modal utama adalah semangat untuk tidak menyerah.
Akhirnya pertandingan balapan sepeda tingkat SD telah tiba. Semua peserta tampak bersiap-siap. Tak terkecuali dengan Wiro dan Bimo. Mereka terlihat berdoa dahulu, sebelum mengikuti lomba itu.
Terdengar suara dari pembawa acara, bahwa lomba segera akan dilaksanakan. Pertandingan balapan sepeda pun dimulai. Semua peserta lomba mengerahkan kemampuan mereka masing-masing. Intinya semua harus mematuhi peraturan tata tertib perlomban. Semua peserta harus menjaga sportifitas dan menghindari berbuat curang.
Wiro dan Bimo awalnya berada di barisan tengah. Mereka tertinggal di belakang Roni dan Tomy, yang selalu mengganggu lajur jalan sepedanya. Wiro kini mengayuh sepedanya dengan kuat dan cepat. Lima tikungan yang berbelok ke kiri dan kanan, dia lewati dengan cepat. Sementara Bimo masih tertinggal di belakang. Wiro melihat Roni sudah berada tepat di sampingnya. Tak mau posisinya diambil alih, Roni mencoba menendang bagian depan sepeda milik Wiro. Namun Wiro sudah mengetahui niat jahatnya. Dengan tenang, Wiro menggeserkan sepeda satu meter menghindari tendangan kaki kanannya. Akibatnya, Roni tak bisa mengendalikan keseimbangannya dan terjatuh. Sementara Wiro terlihat menyalip Tomy di tikungan berikutnya. Dengan gesit dan penuh keberanian, Wiro sampai di garis finish. Dia menempati posisi pertama. Wiro mendapatkan hadiah sepeda baru dan uang sebesar 1 juta rupiah. Wiro terlihat gembira dan tak lupa mengucapkan terima kasih pada Bimo, sahabat yang selalu membantunya.
“Terima kasih, sahabat baikku!” ucap Wiro sambil tersenyum.
“Iya, sama-sama, selamat kau jadi juara satu!” sahut Bimo tampak gembira.
Pertandingan balapan sepeda yang dimenangkan oleh Wiro itu, telah membawanya menjadi seorang pelajar yang terkenal di sekolahnya.
Penulis :
Anton Sucipto, SP. Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto. Tulisannya dimuat oleh media cetak dan online. Tergabung dalam grup Diskusi Sahabat Inspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar