Pages

Rumah Ligusa yang Hilang





Oleh: Suci Shofia

 

“Bug!” Lilis meringis kesakitan. 

“Hahaha!!!” Gugum tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Lilis.

Gugum yang sedang duduk di atas kardus bekas, sengaja membuang kulit dari pisang muli yang barusan dia makan. Ia bosan dari tadi tidak ada teman bermain.

Lilis mengelus-elus punggungnya. Ia terjatuh menimpa kerajinan sampah botol plastik minuman kemasan yang ia buat semalam.

“Kalau buang sampah di tempat sampah dong, Gum. Nih, jadi penyok!” ucap kesal Lilis.

“Iya deh, maaf,” kata Gugum menyesal.

***

Sani yang rumahnya tidak jauh dari tempat Lilis terjatuh segera menghampiri Lilis.

“Kamu enggak apa-apa?” Ujar Sani sambil mengulurkan tangannya.

“Enggak apa-apa. Makasih, ya, San,” kata Lilis sambil tersenyum.

“Gum, ambil tuh sampah kamu. Bikin orang celaka aja,” ucap Sani.

Gugum sambil cengengesan mengaitkan jari telunjuk dan ibu jari sehingga membentuk huruf O.

“Siap,Bosque!” ucap tegas Gugum sambil memungut sampah kulit pisang.

***

Lilis segera merapikan kembali beberapa bagian botol plastik yang penyok. 

“Gara-gara Gugum, nih, jadi penyok begini,” kesal Lilis.

“Sini aku bantuin benerin,” tawar Gugum.

“Enggak usah, malah jadi enggak keruan nanti,” balas Lilis.

“Hahaha, tahu aja kamu, Lis,” ledek Gugum.

 

***

Kerajinan sampah yang Lilis buat sudah kembali seperti semula, bagus seperti bunga yang sedang mekar. Lalu ia mengikatnya di depan pintu rumah yang terbuat dari kardus bekas kemasan kulkas. Di atas pintu itu tertulis Ligusa singkatan dari Lilis, Gugum, dan Sani. 

“Bagus, kan?” Tanya Lilis ke Sani dan Gugum.

“Keren! Nanti aku juga mau kasih hiasan dari sedotan, ya? Belum jadi sih, masih aku rangkai,” ucap Sani.

Gugum mengacungkan jempolnya untuk kedua sahabatnya sambil mengunyah gorengan yang dibuat oleh ibunya.

Mereka bertiga sengaja membuat rumah dari kardus sebagai markas. Di sana Lilis, Gugum, dan Sani biasa mengerjakan tugas yang diberikan oleh Kak Hanif, seorang relawan yang mengajari anak-anak membaca dan menulis, mengajak mengurangi dan mendaur ulang sampah, juga kreatif mengolah sampah.

Sani yang sedang duduk di depan Rumah Ligusa, menyapu pandangannya ke sekeliling yang penuh dengan tumpukan sampah botol plastik, makanan kemasan, popok sekali pakai, kantong plastik, sisa makanan, panci bekas, ember pecah, dan masih banyak lagi. 

“Kapan ya, aku punya rumah yang sekelilingnya banyak pepohonan hijau, trus udaranya segar, banyak burung berkicau?” gumam Sani.

“Sani lagi mimpi tuh!” ledek Gugum.

Lilis yang sedang tiduran di dalam Rumah Ligusa melirik ke Sani, “Minta saja ke Tuhan, siapa tahu Dia mengabulkan keinginanmu, San.”

Sani masih menatap gunungan sampah yang semakin hari semakin tinggi. Aroma tidak sedap dari tumpukan sampah sudah biasa dia hirup setiap harinya.  

“Gugum! Kamu ini masih saja buang sampah sembarangan!” teriak Lilis melihat Gugum membuang sampah gelas kemasan.

“Lho, memang ini tempat pembuangan sampah, kan?” balas Gugum sambil membuka kemasan basreng.

***

DHUARRR!!!

Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Gugum yang sedang tidur nyenyak terbangun oleh suara ledakan cukup keras di antara guyuran hujan. 

“Bu, suara apa tadi?” Tanya Gugum ketakutan.

“Ibu enggak tahu, Gum. Tapi itu bukan suara petir,” jawab Ibu khawatir.

Tiba-tiba badan Gugum seperti diguncang-guncang dengan kuat.

“Kenapa ini, Bu?” Gugum panik.

“Gempa, Gum! Ayo cepat keluar!” sergah Ibu.

Ayah Gugum yang panik segera membuka pintu rumah. 

“Sini, Gum, berdiri dekat Bapak,” pinta Bapak Gugum sambil mengamati sekeliling. 

***

Bapak Gugum segera meraih payung yang penuh dengan karat dan beberapa bagian jari-jarinya yang mulai patah.

“Bapak coba cari tahu, ya, Bu. Semoga tidak ada apa-apa,” ucap Bapak Gugum penuh khawatir.

“Hati-hati, ya, Pak,” pesan Ibu Gugum.

***

“Bu, Kampung Cilimus sama Kampung Pojok terkubur longsor sampah,” ucap Bapak Gugum sedih.

“Gusti, bagaimana kabar saudara kita di sana, Pak?” Tanya Ibu Gugum cemas.

“Jalan ke sana tertutup longsor, Bu. Kita banyak berdoa saja semoga ada keajaiban dari Tuhan,” jawab Bapak Gugum.

“Sani … Lilis …,” lirih Gugum mengucap nama teman-temannya. Tak terasa air mata mengalir di pipinya.

***

Gugum duduk dengan lunglai sambil melempar kerikil ke jalanan. Ia duduk di samping pos ronda tempat warga berkumpul untuk mencari informasi longsor semalam. Samar-samar terdengar siaran berita radio, “Dua kampung di Cimahi, yaitu Kampung Pojok dan Kampung Cilimus tertimbun longsor sampah seberat 200 ton. Dua kampung itu kini hilang, rata dengan longsoran sampah. Kejadian ini disebabkan oleh ledakan gas metana yang dihasilkan oleh sampah yang telah bertahun-tahun menumpuk. Buruknya pengelolaan sampah, ditambah dengan hujan deras membuat sampah setinggi 60 meter itu longsor menimpa perumahan warga sekitar.”

***

21 Februari 2005

Lilis, maafin aku, ya, sering membuat kamu kesal. Aku pengen main lagi sama kamu. Aku janji tidak akan membuang sampah sembarangan lagi. Nanti kalau aku besar, aku mau jadi seperti Kak Hanif yang suka mengajak kita untuk mengurangi sampah, mengolah sampah, juga membuang sampah pada tempatnya biar enggak ada kejadian kayak gini lagi. Maafin aku, Lis. Oya, sampaikan salamku untuk Sani kalau kamu ketemu dia di sana, ya.

Sahabatmu,

Gugum

***

Tangan Gugum bergetar meletakkan surat yang ia tulis di atas kuburan Lilis. Kak Hanif memeluk Gugum yang menitikkan air mata. 

“Kak, kenapa Sani belum ketemu?” Tanya Gugum sedih.

Kak Hanif mengelus-elus punggung Gugum. 

“Doakan semoga Sani tenang di sana, ya, Gum,” hibur Kak Hanif.

 

Penulis : Suci Shofia, seorang ibu yang suka membacakan buku cerita untuk ketiga anaknya. Baginya membacakan buku untuk mereka sangat bagus untuk mengembangkan sisi imajinasi sekaligus memberikan pesan moral dengan cara yang seru. Beberapa karyanya sempat menghiasi majalah Bobo dan majalah anak di Aceh. Mimpinya adalah bisa menghasilkan karya berkualitas untuk anak-anak Indonesia untuk bekal mereka menjalani kehidupan.

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar