Pages

Anak Kecil Pun Bisa Stres



 

Oleh: Selo Wasono

Domisili di  Jakarta

 

 

 

Ayah dan Bunda Anak Cerdas,

Waspadailah tatkala tiba-tiba anak Anda cemberut berlarut-larut dan merajuk sukar dibujuk, hingga Anda tak tahu lagi harus berbuat apa. Terlebih lagi jika si buah hati sampai bertindak ekstrim. Memukul sesiapa didekatnya, melempar, atau membanting benda-benda di sekitarnya, dan ketika ditegur justru berteriak atau menangis histeris. Itu bisa jadi, si buah hati Anda sedang mengalami stres.

 

Stres bisa sesekali hinggap di diri siapa saja tanpa mengenal batasan usia. Sebagaimana layaknya orang dewasa, anak kecil pun bisa mengalaminya. Hanya saja, dilatar belakangi oleh sebab yang berbeda dan tentu cara pelampiasannya berbeda pula. Ada yang aktif, seperti diilustrasikan di atas dan ada yang pasif, yang bisa dicermati dengan memperhatikan gelagat anak yang tidak seperti biasanya. Terlihat murung, merengut, diam seribu bahasa, dan bisa saja mengurung diri di kamar, ataupun malah mondar-mandir di dalam rumah dan banyak salah tingkah.

 

Pemicu stres bagi usia kanak-kanak maupun orang dewasa, pada dasarnya sama. Yaitu merupakan bentuk reaksi psikis yang ditimbulkan oleh sebab kondisi tidak nyaman, adanya tekanan perasaan, perubahan situasi, tiba-tiba menghadapi persoalan, atau sebab apapun yang mempengaruhi gejala biologis sehingga menimbulkan ketegangan emosi. 

 

Stres pada anak, bisa oleh akibat kesulitan diri beradaptasi di lingkungan baru, tidak terbiasanya bersosialisasi, tugas sekolah yang tidak sesuai tahap usianya, dikecewakan teman sekolahnya, bersitegang dengan teman sepermainannya, ataupun keterpaksaan mengikuti kursus pilihan orangtuanya yang tidak ia minati, dan banyak lagi kemungkinan lainnya. Untuk mengetahui penyebab yang sebenarnya, maka orangtua perlu mempertajam observasinya dan berupaya mencari tahu dengan melakukan pendekatan dan membicarakannya dengannya. Sedangkan untuk memahami perasaan anak-anak, bisa dengan cara mengukur kadar perasaan sendiri yang membuat perasaan tertekan, ketika dahulu seusia mereka.

 

Menyinggung sedikit perihal pendidikan ekstra-kurikuler, yang menurut orangtuanya baik, tidaklah selalu membuahkan hasil baik bagi anak. Janganlah sesekali memaksakan anak agar mengikuti obsesi orangtuanya. Semisal Bunda sangat mendambakan, kelak putrinya menjadi seorang ‘balerina’ termasyhur, maka serta merta Bunda masukkan putrinya ke lembaga kursus menari balet. Padahal, sang putri sesungguhnya lebih menggemari tarian tradisional. Satu contoh kasus ini bisa membuat perasaan anak sangat terbebani. Meskipun pada waktu-waktu awal kursus anak terlihat begitu antusias mengikuti, tapi sesungguhnya itu hanyalah disebabkan terpicu perasaan ingin tahunya. Lalu berselang beberapa waktu, perasaan anak mencapai titik jenuh dan penuh keterpaksaan. Sayangnya, Bunda tidak peka mengindahkannya dan tidak menghentikan kursus putrinya.


 

Banyak contoh kasus orangtua yang tidak bisa memahami kondisi stres yang dialami si kecil, sehingga perasaan anak semakin tertekan sebab tidak tahu cara mengungkapkan perasaannya. Sebaiknya para orangtua lebih peka dan segera menyelidiki, ketika melihat pertanda tingkah laku anak tiba-tiba berbeda. Diantaranya; anak menunjukkan gejala lebih mudah marah, uring-uringan berkepanjangan, bersungut-sungut, logat bicara ketus, dan lain-lain serupa itu.

 

Jangan lagi Ayah dan Bunda menunggu si buah hati meletupkan emosinya dengan beragam aksi yang tidak semestinya dilakukan usia kanak-kanak. Juga jangan hanya memaklumi karena itu tingkah laku kanak-kanak, apalagi melakukan pembiaran. Karena gejala-gejala demikian yang terkesan sepele, jika terus menerus sering terjadi dan orangtua menganggap itu satu hal biasa dan tidak segera mengatasinya, maka itu bisa terbentuk pada diri anak sebagai satu ‘karakter’ khasnya.

 

Yang sangat dikhawatirkan, jika karakter itu tetap melekat hingga menginjak remaja dan terus berkembang, bisa menjadi gangguan perilaku ke arah menyimpang. Karena anak terus menerus merasa tidak diperhatikan oleh orang-orang di rumah, maka anak menyimpan dendam lalu ia ciptakan kompensasi mencari perhatian di luar. Suka membuat masalah, bikin onar, mencari sensasi, dan sebagainya.

 

Penting untuk kita ingat, bahwa usia kanak-kanak adalah masa-masa tumbuh kembang ukuran otak. Inilah masa kritikal dalam pencapaian tingkat intelegensi, konsentrasi dan prestasi anak di sekolah kelak. Stres pada anak, selain berpengaruh kepada perkembangan intelektual dan ketajaman otak, juga berdampak negatif terhadap perkembangan emosional. Pertumbuhan intelegensi, emosi, kemampuan berkonsentrasi dan bentuk-bentuk prestasi diri, akan terlihat nyata sangat rendah ketika ia duduk di bangku sekolah dasar.

 

Penulis cuplik dari sebuah buku kedokteran dan kesehatan:“bahwa hasil temuan Dr. Jamie Hanson, ilmuwan di University of  Wisconsin - Madison, ketika melakukan penelitian aspek pertumbuhan pada otak dan gejala gangguan penghambatnya, disimpulkan bahwa stres sangat mempengaruhi perkembangan otak pada anak, bahkan bisa mengubah pertumbuhan bagian tertentu pada otak dan beberapa instrumen fungsi otak.”

 

Maka dari itu, langkah terbaik bagi Ayah dan Bunda ketika mendapati anak mulai menunjukkan gejala stres, bergegaslah menenangkannya dan mengajak membicarakannya. Komunikasi dan langkah persuasif sangat penting agar anak segera merasa tentram, masih diperhatikan dan didengarkan. Karena hakiki anak adalah bagaimana ia didengar perasaannya. Ungkaplah segala yang dialami dan penyebabnya. Baik itu masalah ia di rumah, di sekolahnya, tempat kursusnya, atau di lingkup bermainnya. Simak penjelasan anak, dan tunjukkan rasa empati serta penuh kasih sayang bahwa Anda akan menyelesaikan persoalan yang menjadi beban pikiran dan perasaannya. 

 

Jadi, memang orangtuanya yang harus lebih proaktif. Tidak bisa mengharap anak yang memulai membicarakannya. Karena dalam kondisi sedang stress, pasti cenderung tidak bisa berpikir jernih untuk melakukan apa-apa, termasuk untuk memulai membicarakannya dengan Anda.

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar