Pages

Zain, Ziyad, dan Buah Mangga

 

 

 









Oleh Faris Al Faisal





1

ZAIN dan Ziyad pulang sekolah. Keduanya kakak beradik. Zain kelas V dan Ziyad kelas II Sekolah Dasar. Untuk sampai ke rumah, mereka berboncengan sepeda melewati jalan yang membelah kebun-kebun mangga.

“Kak, ada buah mangga jatuh! Kita ambil, yuk?” ucap Ziyad sambil terus melirik ke arah jatuhnya buah mangga.

“Jangan, Dik! Itu namanya mengambil,” cegah Zain sambil terus mengayuh sepedanya.

“Kan, jatuh sendiri?” protesnya.

“Ayah bilang, tidak boleh mengambil benda yang bukan milik kita. Itu namanya mencuri.”

“Tapi Ziyad ingin buah mangga itu. Nah, itu di depan ada buah mangga! Sayang Kak, kalau tidak kita ambil. Bisa busuk,” timpalnya membela.

“Nanti juga pemilik kebun ke sini,” jawab Zain.

“Kakak...” seru Ziyad kesal.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Ziyad cemberut dan menggerutu tidak jelas. Zain berpura-pura tidak mendengar suara Adiknya. Ia tetap mengayun pedal sepedanya sambil bersiul-siul mendendangkan lagu daerah asal Indramayu, Turun Sintren, yang baru diajarkan Ibu Erawati siang tadi.

“Lo, adikmu kenapa, Kak?” tanya Bundanya kepada Zain, “pulang-pulang mukanya ditekuk begitu?”

“Adik ingin mengambil buah mangga yang jatuh di jalan, tapi Kakak larang.”

“Oh, itu masalahnya. Nanti sore kita ke pasar buah, yuk?” seru Bunda dengan menyengaja mengeraskan suaranya. Mendengar ajakan Bunda, Ziyad yang berada di dalam kamar langsung keluar.

“Ziyad ikut ya, Bunda?”

“Tentu saja,” ucapnya sambil mengelus-elus kepada anak bungsunya.

Zain tersenyum memandangnya. Ia segera masuk kamar untuk menaruh tas dan mengganti baju seragamnya. dan langsung menuju dapur untuk mencuci tangan. Bersiap makan siang bersama.

“Apa Ayah juga bisa ikut?” tanya Ziyad kepada lelaki yang duduk bersebelahan dengan Bunda.

“Kita tidak jadi ke pasar buah,” ucapnya.

“Ya, Ayah. Kenapa?” protes Zain dan Ziyad.

“Karena kita akan ke penangkaran pohon mangga, sekalian kita bisa memetik langsung buahnya. Seru, bukan?”

“Yes! Yes!”seru dua bocah lelaki itu senang.

“Sudah, nanti obrolannya. Kita makan dulu, yuk!” tukas Bunda sambil menghidangkan piring-piring yang berisi nasi dan lauk-pauk kepada suami dan anak-anaknya.



2

“WAH, di sini pohon-pohon mangganya banyak sekali! Semuanya sedang berbuah. Ranum-ranum,” seru Ziyad terkagum-kagum.

“Apa boleh pohonnya dipanjat, Yah?”

“Di sini hanya boleh dipetik atau disorong dengan batang bambu kecil yang diberi keranjang di ujungnya.”

“Kenapa?”

“Sebab itu tidak bagus untuk pertumbuhannya.”

“Ayo kita petik buah mangganya, lalu kalau sudah, kita timbang untuk dihargai,” ucap Bunda yang siap mewadahi buah-buah yang dagingnya berwarna kuning terang berasa manis tiada tara itu.

Beberapa saat kemudian.

“Hore! Ziyad dapat 10 buah mangga.”

“Kakak juga dapat 10 buah mangga!”

“Lo, Bunda, buahnya beda?” ucap Zain memperhatikan dua jenis buah mangga yang didapatkannya juga Ziyad.

“Beda kenapa?”

“Kalau yang didapat Adik, buahnya agak kecil, warnanya seperti merah gincu, aromanya menusuk. Tapi yang dipetik Kakak, buahnya lebih besar, warnanya hijau kekuningan, tapi wangi juga sih.”

“Ini buah mangganya,” sela Ayah yang membawa 5 buah mangga dalam keranjang kecil.

“Buah mangga yang dibawa Ayah juga berbeda? Kelihatannya masih hijau tapi harum sekali.”

Bunda tersenyum mendengarnya. “Kakak, buah mangga itu banyak sekali ragam dan jenisnya. Tadi yang didapat Adikmu namanya gedong gincu.”

“Oleh sebab itu warna merahnya seperti lipstik Bunda. Iya, kan Bunda?”

“Ah, Ayah! Ada-ada saja.”

“Terus yang dipetik Kakak, itu disebut mangga cengkir. Buah mangga asli kota Indramayu.”

“Dan yang dibawa Ayah, dikenal dengan mangga harum manis. Sekalipun sudah masak, warnanya tetap hijau. Tetapi wanginya harum dan rasanya manis. Mirip sekali dengan nama buahnya.”

“Wah, Zain baru tahu!”

“Dik, kenapa sudah dimakan buahnya? Belum dicuci, nanti sakit perut!” cegah Zain yang melihat Adiknya sedang mengigit-gigit buah mangga.

“Enak lo, Kak,” jawabnya lucu.

“Aih, Adik, sini buahnya ditimbang dulu baru ibu kupas!”

Ayah, Bunda, dan Zain tergelak melihatnya.



3

SETELAH membayarnya. Keluarga Zain dan Ziyad kembali ke rumah membawa 7 kg buah mangga yang masih segar dan beberapa cangkokan pohon mangga jenis gedong gincu, cengkir, harum manis, manalagi, golek dan malgova.

“Ayah, untuk apa pohon mangga kecil ini?” tanya Zain yang membawa dua batang pohon yang dibagian pangkalnya berisi tanah diikat dengan serabut kulit kelapa. Sementara Ayahnya membawa empat batang pohon mangga yang juga masih kecil.

“Ini cangkokan pohon mangga, Nak.”

“Kita akan menanamnya? Di mana? Halaman rumah kita kan sempit?”

“Betul, kita manfaatkan drum-drum bekas di gudang rumah, potong jadi dua bagian lalu kita buat pot. Nah, kita akan berkebun buah mangga di pot.”

“Namanya tabulampot,” sambung Bunda.

“Tabulampot? Apakah itu, Bunda?”

“Tanaman buah dalam pot,” jawab Bunda.

“Yeah! Bunda pintar!” seru Ziyad memuji Bunda.



4

“APA sudah siap kita berkebun?” tanya Ayah kepada Zain dan Ziyad.

“Siap!” serentak keduanya menjawab. Di tangannya sudah ada cangkul kecil dan peralatan lain untuk menanam pohon mangga.

Kini di pekarangan rumah itu, sekalipun tidak luas, berjejer rapi enam tabulampot yang beberapa bulan lagi menghasilkan buah mangga yang ranum.

“Ayo kita minum dulu,” seru Bunda dari dalam rumah membawa empat buah gelas berisi jus mangga yang dibeli dari penangkaran pohon mangga kemarin. []



Indramayu




*Faris Al Faisal lahir dan berdikari d(ar)i Indramayu, Jawa Barat, Indonesia. Bergiat di Komite Sastra Dewan Kesenian Indramayu (DKI) dan Lembaga Kebudayaan Indramayu (LKI). Tulisan cernak dan fabelnya tersiar di Nubi KOMPAS, Suara Merdeka, Solopos, Joglosemar, Padang Ekspres, Majalah Anak Cerdas, dan Majalah Utusan.

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar