Pages

Poda Na Lima


Oleh Dewi Ayu Larasati, SS.M.Hum

Berdomisili di Medan, Sumatra Utara

 

Suasana di surau cukup ramai siang itu dengan kehadiran anak-anak dusun yang ingin belajar agama. Seperti biasa, sebelum mulai belajar, Ustad Ali menyapa murid-muridnya,

“Assalamu’alaikum anak-anak semua. Sudah berlatih sampai dimana mengajinya?”

“Wa’alaikum salam...Ustad,jawab anak-anak serempak.

“Ustad, saya sudah hafal sepuluh surat pendek,” Togar mengacungkan tangannya.

“Alhamdulillah. Hebat kau, Togar. Nanti coba Ustad dengar hafalanmu itu ya. Kau,Mirza? Sudah berapa surat Al Quran yang kau hafal?” 

“Aku sudah hafal tujuh surat, Ustad,” jawab Mirza.

“Bagus. Kau Adnan?”

“Aku juga tujuh, Ustad.”

“Segar? Gumpok?”

Segar dan Gumpok menjawab tersipu malu, “Masih empat, Pak Ustad…”

“Yang lain? Apa ada yang hafal surat pendek lebih dari sepuluh seperti Togar?”

Anak-anak menggeleng-geleng kepala, “Belum Ustad…”

“Baik, kalau begitu nanti sepulangnya kalian kerumah,jangan lupa untuk terus berlatih ya. Manfaatkan waktumu sebaik mungkin, seperti apa yang diperintahkan Allah  dalam Surat Al Ashr. Mari kita latihan membaca surat Al-Ashr sekarang.” 

Mereka pun beramai-ramai melantunkan ayat suci Al Quran itu dengan khusyuk. Setelah membaca surat Al Ashr itu, Pak Ustad pun memberikan makna dari isi surat itu. 

“Walaupun Surat Al-'Ahsr ini tergolong surat pendek, namun sarat makna, anak-anak sekalian. Ia berisi risalah Islam tentang pentingnya waktu, iman, amal salih, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. ”

“Jadi, selama hidup kita ini, kita tidak boleh salah dan suka marah-marah ya, Ustad?” tanya Gumpok penasaran. 

Ustad Alipun mencoba menjelaskan. “Begini maksudnya anak-anak, kita hidup di dunia ini tidak luput dari kesalahan. Dalam surat ini kita diperintahkan untuk selalu berbuat baik, saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.  Dengan kata lain, seorang yang mengaku beriman, tak cukup dengan hanya mengaku pada dirinya beriman, namun dibutuhkan suatu tindakan nyata yaitu dengan amal saleh. Maka dari itu, jika tidak ingin hidup merugi, yang pertama kita harus memiliki iman.  Iman itu tentunya diperoleh dari ilmu. Kemudian kita dianjurkan untuk melakukan kebaikan yang lahir maupun yang batin, yang wajib maupun yang sunnah. 

Berikutnya, jika tidak ingin hidup merugi, kita harus saling menasihati dalam kebenaran.Kebenaran harus selalu dijunjung tinggi bersama untuk mencapai bahagia. Katakan bahwa yang benar itu benar, dan yang salah itu adalah salah. Itulah cara kita untuk saling menasehati dalam kebenaran. Yang terakhir, jalan kesabaran pun sangat diperlukan dalam hidup ini. Kalau jalan kesabaran senantiasa tertanam pada setiap diri, tentu kita bisa mengendalikan nafsu kita, termasuk emosi kita.  Nah, dengan demikian, kalau di antara kita ada yang salah, kita harus menasehatinya untuk berbuat benar, dan jika ada yang marah, kita harus menghadapinya dengan sabar.”

“Oh begitu ya Ustad. Hmm…tapi tadi si Segar marah padaku, Ustad. Dia tidak mau bercakap denganku,” adu Gumpok pada Ustad. 

“Apa alasan kau marah dengan Gumpok, Segar?” tanya Ustad pada Segar.

“Hmm...begini Ustad, tadi sewaktu aku mau berwudhu’, Gumpok menyembunyikan sandalku, Ustad. Aku kecarian,” jawab Segar dengan wajah kesal. 

“Aku cuma main-main saja, Ustad,” potong Gumpok. 

“Nah, perbuatan itu tidak benar, Gumpok. Jelas saja Segar marah padamu,” sahut Ustad.

“Walaupun kau tidak serius melakukannya, kau telah menyakitkan perasaan temanmu. Itu termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama. Kau harus meminta maaf padanya ya,” tegas Ustad. 

“Ya, Ustad,” jawab Gumpok dengan nada menyesal. 

“Baiklah anak-anak sekalian, dari pelajaran ini dapatlah kita ketahui bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, garis keturunanmu atau kekayaanmu, tetapi Dia melihat hati dan perbuatanmu. Sebaliknya, hanya hati yang bersih dan perbuatan baiklah yang sejatinya akan berarti bagi manusia dan kelak mendatangkan manfaat bagi dirinya, kelak di yaumil mizan.Tanpa hati yang bersih, seindah apa pun tampilan fisiknya, sungguh tak akan menghasilkan kebaikan hubungannya dengan orang di sekitarnya,” jelas Ustad.

“Jadi, kalau kita berbuat salah, kita harus segera meminta maaf ya, Ustad,” ujar Adnan.

“Ya, begitu kita menyadari kesalahan kita, kita wajib meminta maaf dan memohon ampun kepada Allah. Jika kau tidak meminta maaf, orang lainlah yang akan menegurmu. Begitulah cara Allah untuk membimbing hambanya,” jawab Ustad. 

“Apa kita harus menjaga kebersihan hati saja, Pak Ustad? “ tanya Togar penasaran.

“Oh tidak, Togar. Di dalam banyak ayat, Allah memerintahkan orang beriman agar memperhatikan kesucian jiwa dan raganya karena kebersihan adalah sebagian dari iman. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dilakukan nenek moyang kita dulu dalam falsafah Poda Na Lima. Ada 5 unsur pada masyarakat kita Mandailing yang diwariskan secara turun-temurun yang mempunyai makna yang luas baik lahir maupun batia. Pertama, Paias Rohamu  yaitu bersihkan hatimu, di mana setiap insan diharuskan untuk selalu mempunyai hati yang bersih, jauh dari sifat-sifat iri, dengki, hasat, angkuh dan sombong. Kedua, paias pamatangmu yaitu bersihkan badanmu. Selain menjaga kebersihan hati, kita juga diharuskan menjaga kebersihan badan. Ketiga, paias paribotanmu yaitu bersihkan pakaianmu. Paias Paribotanmu merupakan satu kesatuan yang harus dijaga untuk mendapatkan kebersihan yang sempurna atas raga seseorang. 

Alangkah janggal jika seorang sudah membersihkan diri, tapi tidak memakai pakaian yang pantas apalagi yang tidak sesuai dengan adat lingkungan. Keempat, paias bagasmu  yaitu bersihkan rumahmu.  Bukan hanya bermakna rumah semata, tapi yang lebih luas yaitu penghuni rumah itu sendiri. Rumah merupakan tempat berkumpulnya keluarga atas dasar keturunan, hubungan darah, marga atau kerabat. Setiap orang harus menjaga harkat dan martabat keluarga baik dalam lingkungan dalam rumah maupun di luar rumah. Kelima, paias pakaranganmu yaitu bersihkan pekaranganmu. Untuk menjalin hubungan dengan masyarakat atau habblumminannas yang dalam bahasa Batak lebih dikenal dengan Dalihan Na Tolu yang merupakan tatacara hubungan kekerabatan dalam adat istiadat Batak,” jelas Ustad membuat anak-anak mengangguk tanda mengerti. 

Waktu telah menunjukkan pukul dua belas siang, anak-anak pun bersiap untuk melaksanakan salat Zuhur. Tidak tampak letih sedikit pun diwajah mereka, yang ada hanya rona kebahagiaan dan ketulusan hati untuk menerima semua pelajaran yang diberikan Ustad Ali kala itu. 

 

 

 

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar