Oleh Dewi Ayu Larasati, SS,M.Hum
Berdomisili di Medan, Sumatra Utara
Sudah beberapa hari ini desa di tempt Amir tinggal selalu turun hujan. Hujannya pun sangat deras disertai angin kencang. Hujan seperti itu sangat menakutkan, khususnya bagi para penduduk di desa itu. Hujan deras disertai angin kencang, akan berakibat buruk pada rumah-rumah warga di situ. Rumah-rumah mereka bisa ambruk lantaran rapuh dan tak kuat menahan guyuran air hujan serta angin kencang.Hal itu pernah terjadi beberapa tahun lalu, saat ada angin puting beliung.
Malam ini adalah malam kelima hujan turun begitu derasnya. Di dalam rumah,ayah dan ibunya Amir sibuk mengambil ember untuk tempat menampung air hujan dari atap yang bocor. Bocornya banyak. “Tik..tik..tik…” Bunyi tetes air hujan dari atap yang bocor membasahi ember. Bunyinya semakin terdengar ramai, bersahut-sahutan, seperti bunyi musik seiring bertambah derasnya air hujan. Saking banyaknya atap yang bocor, empat ember cucian dan baskom milik ibu tak cukup menampung. Sudah sering Ayah menambal atap seng itu, tapi setiap ada hujan deras, tetap saja bocor. Makanya setiap ada hujan, ibu dan ayah Amir terus kerepotan.
Namun di tengah derasnya hujan dan bunyi petir yang menyambar-nyambar, ayah Amir tetap membawa keluarga dalam suasana bahagia.
Ia mengambil selembar kertas bekas, lalu mulai melipatnya membentuk sebuah kapal-kapalan. Ia menaruhnya di atas baskom penampung air dan mengajak Amir bermain. Amir pun duduk jongkok melihat kapaltersebut berputar-putar di baskom.
Sambil bermain kapal-kapalan bersama Ayah, Amir pun bertanya, “Ayah, kenapa belakangan ini hujan dan angin kencang terjadi di desa kita ya? Dan sudah empat hari desa kita banjir. Apa memang sedang musim hujan ya, Ayah?,”
“Ya, sebenarnya ini belum masuk musim penghujan, Mir. Saat ini cuaca memang sulit diprediksi. Bisa tiba-tiba hujan, bisa juga tiba-tiba panas berkepanjangan. Pada dasarnya hujan adalah rahmat Allah. Lahan pertanian kita sangat membutuhkan hujan untuk mengairi tanaman para petani. Coba bayangkan apabila sungai kering dan hujan tidak kunjung turun, maka merugilah para petani, lahan mereka kekeringan, tanaman yang mereka tanam mati. Maka bersyukurlah atas hujan yang telah Allah turunkan untuk kita. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah jika banjir datang. Banjir ini justru disebabkan oleh ulah manusia karena merusak lingkungan, buang sampah sembarangan, termasuk penggundulan hutan. Bila alam dijaga dan dilestarikan dengan baik oleh manusia maka tidak akan ada petaka yang ditimbulkan oleh hujan.”
“Berarti bencana yang terjadi,lebih banyak karena oleh ulah manusia ya, Yah,”tanya Amir pada Ayah seraya menatap ke arah rembesan air dari atap rumahyang bocor.
“Ya, benar. Alam memang berpengaruh terhadap curah hujan. Namun, kalau lingkungan dan ekosistem tertata dengan baik, kejadian bencana tidak akan terus meningkat.Manusialah yang banyak menyebabkan kerusakan di alam ini sebenarnya,” ujar Ayah menghela nafas kecewa.
Ibu memandang sekeliling lalu duduk di tepi meja makan. Sesekali ia berdiri menoleh ke arah pintu dengan tatapan waswas, khawatir debit airakan terus meninggi dan merendam rumah. Sayup-sayup terdengar suaraNenek dari balik kamar melantunkan ayat-ayat suci Al-quranyang begitu merdu diantara derasnya air hujandan petir yang bergemuruh.
Selang beberapa saat, hujan pun mulai mereda. Petirpun hanya sayup-sayup terdengar. Tiba-tiba ada suara laki-laki yang memanggil dari arah depan rumah Amir.
“Sepertinya suara Wak Pipin, Yah,” kata Amir seraya bergegas membuka pintu.
Ternyata memang Wak Arifin, yang biasa dipanggil Wak Pipin, datang pada malam itu untuk memberitahukan ayah dan ibu Amir bahwasanya sawah mereka sudah terendam banjir. Ratusan hektar sawah petani yang akan memasuki musim panen pada minggu depan, kini berubah menjadi empang karena terendam banjir. Akibatnya, gagal panen pun mengancam para petani di desa itu.
Sebagian petani tadi pagi rupanya sempat berupaya menyelamatkan padi yang ditanam, dengan cara mengikat dan mendirikan kembali padi. Namun, karena lahan yang rusak cukup luas, tidak semua padi bisa diselamatkan. Mereka akhirnya membiarkan padinya terendam banjir.
Wak Pipin juga mengatakan bahwa dampak banjir ini bukan saja menyebabkan kerugian tanaman masyarakat, namun juga membawa pengaruh besar terhadap proses belajar anak-anak sekolah. Anak-anak tidak bisa bersekolah dulu karena sekolah mereka terendam banjir.
Menurut Wak Pipin, banjir itu terjadi karena jebolnya tanggul penampungan air di perkebunan yang kebetulan lokasinya berada di daerah tinggi dan berdekatan dengan sekolah. Akibat tanggul tidak bisa menahan air, banjir disertai lumpur pun menerjang sekolah dan beberapa rumah wargadi sekitarnya. Dengan kondisi ini, aktifitas belajar di sekolah belum dapat dilakukan dan diliburkan sementara waktu.
Spekulasi pun muncul bahwa penyebab banjir di wilayah ini justru disebabkan dari maraknya penebangan pohon di beberapa kawasan hutan yang berfungsi sebagai penyimpan cadangan air.
Ketika kawasan hutan menjadi gundul akibat aksi penebangan, otomatis hutan tak berfungsi lagi sebagai penyimpan cadangan air. Dengan begitu, air hujan yang tumpah dari langit langsung mengalir ke sungai. Sehingga, aliran sungai tak mampu lagi menampung debit air dan kemudian menyebabkan banjir.
Mendengar berita itu, Ayah dan ibu Amir tidak bisa berbuat banyak. Mereka sudah menerka kalau banjir besar yang dikhawatirkannya ini akan terjadi. Mereka hanya bisa pasrah. Apapun yang terjadi sudah kehendak Tuhan. Belum saatnya mereka mengadakan panen raya di bulan ini, pikir mereka. Namun ada satu hal yang masih mengganjal di hati mereka, dan belum terjawab hingga saat itu, yaitu kapan manusia menyudahi kebiasaan merusak alam yang menimbulkan bencana disana sini?
Malam pun semakin larut. Kapal-kapalan kertas Amir masih berputar-putar di atas baskom, seolah-olah hendak berlayar jauh di antara impian-impian mereka di malam itu. Impian yang membawa mereka hidup harmonis dengan alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar