Oleh : Rahman Bangun
Berdomisili di Malang, Jawa Timur
Tersebutlah nama Amr Ibnul Jamuh. Ia adalah bangsawan di kalangan kaumnya. Amr Ibnul Jamuh memiliki tiga orang anak laki-laki yang bernama Mu’awadz, Mu’adz dan Khalad. Mereka bertiga berteman akrab dengan Mu’adz bin Jabal. Ketiga anak Amr Ibnul Jamuh dan seorang temannya ini sudah masuk Islam. Demikian juga dengan istrinya. Namun, mereka semua takut memperlihatkan keIslamannya kepada Amr Ibnul Jamuh.
Sudah menjadi kebiasaan pada golongan bangsawan Madinah menyediakan duplikat berhala besar di rumah masing-masing. Demikian juga dengan Amr Ibnul Jamuh. Sebagai seorang pemimpin dan bangsawan di kaumnya, ia mempunyai berhala di rumahnya. Diberi nama Manat.
Anak-anak Amr Ibnul Jamuh sangat menginginkan ayahnya masuk Islam. Memperhatikan kebiasaan ayahnya, Mu’adz bin Amr dengan temannya Mu’adz bin Jabal b
ersepakat akan menjadikan berhala di rumahnya untuk permainan.
“Jangan lupa nanti malam, ya” kata Mu’adz bin Amr mengingatkan temannya.
“Insya Allah. Tunggu ya,” jawab Mu’adz bin Jabal.
Di waktu malam mereka menyelinap ke tempat ayahnya menyimpan berhala.
“Hati-hati. Angkat,” bisik Mu’adz saat mengangkat berhala berdua.
“Kita bawa kemana?” tanya Mu’adz bin Jabal.
“Dibawa kemana saja, dia tidak akan bisa protes,” jawab Mu’adz bin Amr sambil tersenyum.
“Ya pasti. Berhala mana bisa protes,” kata Mu’adz bin Jabal. Mereka berdua bersepakat mengangkat berhala itu dan membuangnya ke lubang yang biasa digunakan masyarakat sekitar untuk membuang kotorannya.
Pagi harinya, Amr Ibnul Jamuh tidak melihat Manat di tempatnya, maka dicarinya ke semua tempat. Dan dia terkejut saat menemukan Manat di tempat pembuangan kotoran. Bukan main marahnya Amr.
“Hah. Siapa yang melakukan perbuatan durhaka terhadap Tuhanku malam tadi?” Amr marah. Lalu ia mengambil Manat mencuci dan membersihkannya. Lalu diberikannya wangi-wangian dan disimpan kembali ke dalam tempat pemujaannya lagi.
Malam berikutnya Mu’adz berdua memperlakukan berhala Manat seperti malam sebelumnya. Demikian pula pada malam-malam berikutnya. Setiap kali Amr selalu bisa menemukan Manat. Tentunya dengan perasaan marah. Akhirnya ia mengambil pedang dan diletakkannya di leher Manat.
“Jika kamu benar-benar bisa memberikan kebaikan, berusahalah untuk mempertahankan dirimu,” kata Amr kepada Manat.
Keesokan hari, Amr mencari Manat yang tidak ada di tempat. Ia pun menemukan Manat di tempat pembuangan kotoran lagi. Manat tidak sendirian. Berhala itu terikat dengan bangkai seekor anjing dengan tali yang sangat kuat. Amr sangat marah, heran dan kecewa.
“Wahai Amr, apa yang engkau lakukan di sini?” tanya beberapa orang tiba-tiba.
Amr terkejut. Ia segera menoleh ke arah sumber suara. Didapatinya beberapa bangsawan Madinah yang telah masuk Islam.
“Mengapa kalian ada di sini?” kata Amr kepada teman-temannya.
“Amr, ketahuilah bahwa Manat tak bisa memberikan apa-apa padamu. Untuk menyelamatkan dirinya saja ia tak bisa. Masihkah Engkau berharap pada berhala Manat?” tanya salah seorang bangsawan Madinah. Ia mengajak Amr untuk berpikir yang benar.
“Sesungguhnya ada Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Tidak ada sesuatu pun yang menyamainya. Tuhan yang berkuasa atas semuanya. Dialah Allah Yang Esa,” imbuh bangsawan yang lain.
Amr mendengar dan memahami penjelasan para bangsawan yang datang. Sungguh sebuah penjelasan yang masuk akal dan memuaskannya. Ia menyadari kesalahannya telah menuhankan Manat. Sebuah berhala yang tidak bisa menyelamatkan dirinya. Apalagi jika diharapkan bisa melindunginya.
“Berimanlah kepada Allah, wahai Amr. Berimanlah juga bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Muhammad adalah orang yang jujur dan terpercaya. Ia ada untuk memberi bukan untuk menerima. Untuk memberi petunjuk bukan untuk menyesatkan. Agama Islam yang dibawanya untuk membebaskan manusia dari belenggu kesesatan,” lanjut bangsawan Madinah.
Amr telah menemukan diri dan harapannya. Ia pun pergi untuk membersihkan diri dan mendatangi Muhammad untuk masuk ke dalam barisan orang-orang yang beriman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar