Pages

Sembuhlah Ibu





Oleh Lailatul Fitriyah

Berdomisili di Mojokerto

“Man, ibu baru pulang dari rumah juragan Shodiq.” kata ibuku sembari menutup pintu dapur. Aku terdiam di atas dingklik kecil sambil melanjutkan cuci piring. Ya, aku anak sulung di rumah ini. Mau tak mau, aku harus membantu pekerjaan ibu di rumah. 

Semenjak pandemi, ibuku tidak lagi menjadi tukang setrika di laundry milik Bu Ira. Tidak ada lagi penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, selain mengharapkan uang kiriman ayahku yang juga tak pasti. Ayahku bekerja ikut pemborong di Surabaya. Tapi, karena pandemi juga yang mengurangi jatah kiriman dari ayah atau bahkan tidak sama sekali. 

“Ibu lihat Roni, anak juragan Shodiq ikut jualan pentol bakso keliling.“ kata ibu tiba-tiba.

“Baguslah, Bu. Mas Roni kan sudah lulus SMK” jawabku. 

Ibu hanya mondar-mandir saja di dapur. Entah apa yang hendak dikatakan padaku. Sepertinya bibir ibu berat mengucapkannya. 

“Bu,pingin ngomong apa sama Arman?” tanyaku setelah menyelesaikan bilasan piring terakhir. 

“Maafkan Ibu ya, Man! Kalau ibu jualan pentol keliling, kamu malu nggak?” suara ibu lirih. 

Kenapa harus malu, Bu? Arman nggak malu Ibu kerja apa saja, yang penting halal.” jawabku meyakinkan ibu. 

“Alhamdulillah... terima kasih ya, Man,” senyum ibu tersungging di bibirnya. 

“Kapan Ibu mulai jualan?”

“Besok Ibu ke rumah juragan Shodiq lagi.” jawab ibu penuh semangat. 

Selesai salat subuh berjamaah di musala,  ibu langsung memasak nasi dan menggoreng tempe. Setelah semua rampung, ibu bergegas mengeluarkan sepeda dari dapur. 

“Man, Ibu berangkat ke rumah juragan Shodiq ya. Adikmu dijaga. Maaf, ibu hanya masak nasi sama tempe saja di dapur!” bisik ibu. 

“Hati-hati ya, Bu!” kataku sambil mencium tangan ibu. 

Setelah memakai masker, ibu bergegas mengayuh sepeda menuju rumah juragan Shodiq untuk jualan pentol bakso keliling. 

“Ya Allah... lindungilah ibuku, semoga hari ini jualannya laris, amin,” sambil kuusapkan kedua tanganku ke wajah. 

Beberapa hari, sepulang jualan pentol bakso keliling, ibuku terlihat lelah. Mungkin belum terbiasa mengayuh sepeda dengan membonceng rombong pentol bakso.  

Selepas salat Isya, ibu tertidur di atas tikar dengan masih memakai mukena. Tidurnya begitu lelap. Saking lelapnya, tangisan adikku Salman yang ngotot minta dibuatkan teh manis pun tak membangunkan tidur ibu. Setelah kurayu, akhirnya Salman menerima teh manis buatanku. Aku sungguh tak tega membangunkan ibu. 

Kulihat mukena ibu tersingkap sehingga kakinya sedikit terlihat. Kuambilkan selimut dari kasur dan kututupi kaki ibu yang tersingkap agar tidak digigit nyamuk. Tanpa sengaja kulihat kaki ibu sedikit memar. Ingin rasanya kutanyakan apa yang terjadi dengan kakinya, tapi aku tak tega membangunkannya. 

Pukul tiga pagi, alarm jam beker di atas meja kamar membangunkan kami. Ibu segera bangun walaupun masih terlihat mengantuk. Berulang kali ibu menguap, tapi beliau memaksakan bangun dan pergi ke kamar mandi. Kuikuti langkah ibu ke luar kamar. Kurebahkan tubuhku di kursi sambil menunggu ibu keluar kamar mandi. 

“Man, sudah tarhim,  ayo segera ambil wudu!” ibu membangunkanku dengan lembut. Ternyata aku tadi pindah tidur di kursi hampir satu jam sampai ibu membangunkanku karena sudah terdengar tarhim dari masjid An Nahdliyah. 

Aku segera ke kamar mandi dan ibu kembali ke kamar. Kulihat jalan ibuku agak pincang. Tapi ibu berusaha menutupinya. 

“Man, kita jamaah salat subuh di rumah saja ya, kasihan adikmu masih lelap tidurnya,” kata ibu sambil memandang Salman yang masih tidur nyenyak. 

“Ya, Bu... Maaf, bukan karena Salman masih tidur, tapi kaki ibu masih sakit kan?” tanyaku. 

“Maaf, tanpa sengaja tadi malam kulihat kaki ibu memar. Ibu habis jatuh?” lanjutku. 

“Hanya keserempet sedikit, nggak sakit kok,” jawab ibu mencoba menutupi.

“Ibu libur dulu yajualannya hari ini. Istirahat saja, biar kakinya sembuh dulu.” pintaku. 

“Kaki ibu nggak papa,Man,” ibu mencoba meyakinkanku. 

“Bu, jangan maksa, nanti malah berbahaya. Kalau ibu sakit, siapa yang mengurusi Arman sama Salman,” lanjutku memelas. 

“Ya sudah, ibu libur dulu. Kamu bilang ke juragan Shodiq ya!” pinta ibu. 

Selesai salat, aku segera berangkat ke rumah juragan Shodiq untuk memberitahukan bahwa ibuku tidak jualan karena kakinya sakit. 

“Ya Allah, semoga kaki ibu lekas sembuh,” doaku sambil mengayuh sepeda. 

 

 

Penulis

Lailatul Fitriyah, lahir di kota onde-onde Mojokerto. Seorang ibu dengan dua putri telah mempunyai beberapa karya antologi cerpen antikorupsi bersama guru-guru madrasah se Indonesia (PERGUMAPI) dan antologi Kartini bersama Eduliterasi Mojokerto, dan juga beberapa karya lainnya. 

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar