Pages

Belajar Untuk Saling Memaafkan



 Oleh Dewi Ayu Larasati, SS,M.Hum

Berdomisili di Medan, Sumatra Utara


Teng…teng…teng…Bel masuk pun berbunyi. 

Pak Ruli, guru yang mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) masuk ke kelas IV A. Anak-anak duduk rapi dan siap dengan pelajarannya. 

“Selamat pagi anak-anak. Hari ini, kita akan melanjutkan materi kita tentang Negara Asean. Nah, sebelum kita lanjutkan pelajaran hari ini, Bapak mau tanya dulu, anak-anak. Coba kalian sebutkan 10 negara ASEAN yang kemarin sudah Bapak jelaskan? Ayo, siapa yang masih ingat?”

“Saya masih ingat, Pak,” jawab Udin bersemangat seraya mengacungkan tangannya.

“Ya Udin, coba kamu sebutkan,” Pak Ruli pun mempersilahkan Udin untuk menjawab.

“Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, hmm…mmm…abis itu apa lagi ya?” Udin rupanya lupa dan mencoba memikirkan sambil menggaruk-garukkan kepalanya.

“Masih 8 negara Udin. Setelah itu apa lagi...apa kamu lupa ya, Udin?” tanya Pak Ruli tersenyum.

“Duh, Udin kok jadi lupa ya Pak?” jawab Udin malu-malu.

Seketika Rika mengacungkan tangannya, “Rika tau Pak Ruli. Selanjutnya ada negara Myanmar dan Kamboja, Pak Ruli,”

“Bagus sekali, Rika. Nah, itulah kesepuluh negara ASEAN yang pernah Bapak jelaskan kemarin kepada anak-anak sekalian. Harus diingat terus ya, anak-anak. Jangan sampai lupa lagi,” ujar Pak Ruli meyakinkan siswa-siswanya.

Pak Ruli lalu memerintahkan siswa-siswinya untuk menyiapkan alat gambar mereka, karena hari ini mereka akan mewarnai bendera negara-negara ASEAN tersebut. 

“Nah kegiatan kita sekarang adalah mewarnai bendera negara-negara ASEAN tersebut. Ayo anak-anak, sediakan pensil, krayon, kertas gambar, dan pul­pen untuk menebalkan gambar dan menghias. Tidak boleh salah ya dalam mewar­nai benderanya. Setelah itu, tuliskan di kertas gambar tersebut nama negara menurut benderanya, ya,” ujar Pak Ruli. 

Ya, di sekolah itu, setiap anak diberi loker pribadi. Loker itu isinya; krayon atau alat mewarnai, kertas gambar, diari, buku-buku, sandal untuk salat, dan lain-lain. 

Namun ada yang hal tidak biasa terlihat oleh Pak Ruli hari itu. Amel yang duduk di bangku tengah terlihat murung seperti habis menangis. Pak Ruli pun menghampirinya dan bertanya kenapa ia sangat murung hari ini. “Kamu kenapa, Amel?” 

Amel tak menjawab. Malah ia terlihat seperti hendak meneteskan air matanya kembali. 

Fitri yang duduk di sebelahnya lantas menjelaskan kepada Pak Ruli, ”Begi­ni Pak Ruli, saat istirahat tadi, Amel tidak sengaja menjatuhkan pulpen kesayangan Santi. Nah, pulpen itu patah rupanya, Pak. Lalu Santi marah-marah sama Amel.” 

Santi pun yang duduk di barisan depan mencoba membela diri,”Jelas aja Santi marah, Pak Ruli. Pulpen itu adalah pulpen kesayangan Santi yang dibeli papa di Singapura.” 

“Demi Allah, aku tak sengaja, Santi. Aku minta maaf,” kata Amel. Amel sedih karena merasa bersalah dan berdosa. 

“Lagian Santi juga pelit Pak, pulpennya ga boleh dipinjamin,” ujar Rika. 

“Iya, Santi pelit, Pak Ruli!” kata teman-teman lain mendukung Rika. 

“Pulpen ini kan pulpen mahal. Kalian tidak boleh meminjam dan me­makainya. Apalagi merusaknya. Hei, Amel, kamu cengeng banget, sih! Harusnya bukan kamu yang nangis, tapi aku! Pulpenku yang dirusak, bukan kamu, tahu!” kata Santi. 

Pak Ruli pun mencoba mendamaikan mereka dan menghibur kesedihan Amel. Ia juga menenangkan Santi yang kelihatan masih jengkel. 

“Santi, kamu tidak boleh begitu. Amel tadi sudah menjelaskan kepada Santi bahwa Amel tidak sengaja menjatuhkan pulpen Santi. Lagian Amel juga sudah minta maaf kepada Santi. Ayo, Santi maafkan Amel, ya.” 

“Tapi Pak, pulpen itu ga ada jual disini, papa Santi belinya jauh di Singapu­ra,” ungkap Santi dengan wajah menggerutu. 

“Ah iya, Bapak masih simpan beberapa pulpen yang Bapak beli waktu Bapak seminar di Singapura. Besok Bapak bawakan untuk Santi ya,” bujuk Pak Ruli. 

Santi pun kegirangan, “Bener, Pak?” 

“Iya, tapi kamu maafkan Amel dulu ya, ayo bersalaman,” pinta Pak Ruli. 

Santi pun menuju meja Amel dan mengulurkan tangannya. “Maafin Santi juga ya, Amel,” 

Mereka pun saling berjabat tangan diikuti senyum bahagia Pak Ruli. 

“Pak, kami mau juga donk pulpen dari Singapuranya…” celoteh Sinta dan siswa-siswa lainnya. 

“Boleh…boleh…tapi sayangnya tidak bisa semua Bapak bagikan. Bapak cuma punya lima pulpen saja. Hmm…nanti kalau Bapak ada kesempatan lagi ke luar neg­eri, Bapak bawakan pulpen untuk yang belum kebagian ya.” 

Anak-anak pun bersorak kegirangan. “Terima kasih Pak Ruli…” ujar mereka senang. 

Pak Ruli lalu memberi nasehat kepada Santi dan juga murid-murid lainnya, bahwa sebagai makhuk Tuhan kita tidak boleh sombong jika kita mempunyai kelebi­han. Apakah itu lebih kaya, lebih pintar, lebih cantik, lebih hebat, tetap saja kita harus bersikap rendah hati. Kalau kita bersikap angkuh dan sewenang-wenang, teman-teman tentu tidak menyukai kita. Pak Ruli pun menambahkan, jika manusia diciptakan pada dasarnya untuk saling membutuhkan. Manusia tidak akan dapat hidup sendiri. Ia butuh orang lain, sebagaimana orang lain membutuhkannya pula. Dari dulu hingga sekarang, saling membutuhkan ini tidak akan pernah hilang, dan tidak akan dapat dihilangkan. 

            Anak-anak pun mengangguk tanda paham. Mereka pun lalu melanjutkan kegiatan mereka. Dengan semangat mereka mewarnai bendera negara-negara ASEAN yang diperintahkan Pak Ruli. Penuh ceria dan rasa kekeluargaan sesama teman sekelas. 

 

 

 

 

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar