Pages

Menengok Ibu



Cernak Komala Sutha

            Sudah empat hari Ibu tidak masuk ke kelas. Aku dan semua teman sekelas belajar dengan Bu Indri, guru yang biasanya mengajar bahasa Inggris.
            “Kenapa Ibu tak ada, ya?” tanya Tira, teman sebangkuku.
            Aku menggeleng. “Aku tak tahu.”
            “Jangan-jangan Ibu sakit, ya?” tebak Dimas.
            “Bisa juga ada urusan penting,” kata yang lain.
            “Tapi masa sampai empat hari?” aku menatap teman-temanku. “Kita tanyain Bu Indri saja, yu?”
            Bu Indri pun memberitahukan pada kami kalau Ibu sudah empat hari dirawat di rumah sakit. Tentu saja aku kaget. Begitu juga teman-temanku. Apalagi teman-teman yang merasa suka nakal dan sering membuat Ibu marah. Mereka kehilangan Ibu.
            “Bu, aku ingin nengok Ibu,” kataku diikuti yang lain. Kelas jadi riuh. Semua mendekat pada Bu Indri yang berdiri dekat meja guru. Semua ingin menengok Ibu. Akhirnya Bu Indri menyetujuinya tapi tak semua murid bisa ikut. Teman-teman protes, minta hak yang sama. Kelas semakin riuh. Bu Indri berusaha meredakan keriuhan. Semua murid diminta duduk di bangku masing-masing.
            “Ya, semua boleh ikut menjenguk,” kata Bu Indri akhirnya. Kelas pun kembali riuh. Semua meneriakkan ‘hore’, termasuk aku. Bu Indri memintaku mengumpulkan uang. Aku mengangguk setuju.
            Pada jam istirahat, semua teman sekelas mengeliling mejaku. Satu persatu menyerahkan uang sebesar seribu rupiah. Aku dengan teliti mencatatnya. Tira membantu memberikan kembalian. Bukan Bu Indri yang meminta sumbangan, namun keinginan kami. Kami sekelas ingin membeli makanan untuk Ibu. Beberapa teman ada yang mau menyumbang limaribu, namun aku tolak. Semua teman harus menyumbang sama, seribu rupiah. Tidak boleh lebih.
            Esok hari sekitar jam sebelas, dengan ditemani Bu Indri, kami pergi ke rumah sakit. Letaknya tidak jauh dari sekolah. Hanya memakan sepuluh menit dengan berjalan kaki. Tanganku menjinjing tas palstik warna putih. Isinya dua buah susu kaleng dan roti yang dibeli dari minimarket terdekat. Uang yang terkumpul kemarin sebesar tigapuluh ribu rupiah. Murid kelas empat tigapuluh dua orang. Dua orang tidak ikut menyumbang karen tidak punya uang.
            Di pintu masuk, petugas tak membolehkan kami masuk. Alasannya, anak-anak dilarang masuk. Betapa kecewanya aku, begitu juga teman-teman.
            “Apa kata Ibu, kalian sih suka memaksa,” jelas Bu Indri lembut sambil menatap kami.
Namun petugas mengijinkan Bu Indri dan satu orang perwakilan dari kami. Aku yang dipilih. Bersama Bu Indri masuk ke ruangan, namun baru juga beberapa langkah, Ibu sedang berjalan tergesa-gesa. Ternyata Ibu mau pulang.
            “Bu, ini oleh-oleh,” aku menyerahkan tas plastik.
            “Duh, tak usah repot-repot, Amel,” Ibu mengelus kepalaku. Aku membantu membawa tikar plastik. Kami keluar. Di luar, semua teman sekelas menyambut dan teriak senang. Satu persatu menyalami Ibu. Mereka senang bisa bertemu Ibu.
            “Jangan ribut, ini rumah sakit,” Bu Indri mengingatkan lagi. Semua berjalan beriringan menuju tempat parkir. Ibu masuk ke dalam mobil. Keluarganya sudah menunggu. Aku senang melihat Ibu sudah sembuh.
            Kami semua melambaikan tangan. Ibu pun membalasnya. Bibirnya tersenyum. Tampak kebahagiaan di mata Ibu.
            “Kapan Ibu ke sekolah lagi, Bu?” tanya Zidan pada Bu Indri.
            “Doakan saja Ibu kalian selalu sembuh, biar cepat kembali ke sekolah,” kata Bu Indri.
            “Aku janji tak akan nakal lagi. Aku tak mau bikin Ibu marah,” Ibnu menunduk lesu. Ia memang paling sering membuat Ibu marah.
            Bu Indri tersenyum. Ia mengacungkan ibu jarinya.
            “Aku sayang Ibu,” kata Tira.
            “Aku juga,” kata Dimas.
            “Aku juga!” seru Resti.
            “Semua sayang Ibu!” teriak semua. Kami berjalan beriringan, kembali menuju sekolah. Senangnya hari ini melihat senyum Ibu.*** 
Litasembada, 1 September 2017

                                       E:\Gallery\Family\bUNDA cOKLAT - Copy.JPG
KomalA Sutha yang lahir di Bandung, 12 Juli 1974, menulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Tulisannya dimuat dalam majalah Manglé, SundaMidang, Beat Chord Music, Tribun Jabar, Buletin Selasa, Koran Galura, Radar Tasik Kabar Priangan, Redaksi Jabar Publisher, Buletin Selasa, Sunda Urang, Warta Sunda, Metrans, Kandaga, Mayaradan tulisan lainnya tergabung dalam puluhan antologi cerpen dan puisi.


Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar