Pages

TELUR AYAM EMAS


                                                       Ilustrasi. soulofjakarta.com/
Oleh Dewi Ayu Larasati
Berdomisili di   Medan 

            Di sebuah desa kecil di daerah Tapanuli Selatan, tinggallah seorang anak laki-laki bernama Bonar bersama seorang kakek. Ketika berumur tahun, Bonar sudah tidak memiliki ayah dan ibu lagi lantaran keduanya telah meninggal dunia karena sakit. Sejak itu ia dibesarkan oleh kakeknya yang sudah cukup tua. 
            Untuk memenuhi kehidupan mereka, Kakek memelihara ayam kampung yang telurnya dapat dijual di pasar. Karena tekun mengurus ayam-ayam itu, hingga kini jumlah ayam kampung mereka sudah lumayan banyak. Hampir setiap pagi Bonar membawa telur-telur itu ke pasar untuk dijual. Kakek sudah tidak sanggup lagi untuk berjalan jauh ke pasar, jadi Bonar sendirilah yang menjual telur-telur itu ke pasar.
            Hari mulai beranjak malam.Saat Bonar memasang penerang rumah, tiba-tiba terdengar suara Kakek dari balik kamar yang tengah terbatuk-batuk memanggilnya. ”Bonar..Bonar..mari sebentar Nak.” Mendengar suara Kakek, Bonar bergegas menuju kamar dan melihat Kakek tengah terbaring lemah di tempat tidurnya. ”Kakek kenapa, Kek?”tanyanya dengan wajah khawatir. ”Mari duduk dekat Kakek, Nak,”ajak Kakek dengan suara lemah. 
”Kakek baik-baik saja, kan?” Bonar terlihat cemas. 
Bonar cucuku. Sepertinya Kakek sudah sangat lemah. Umurku mungkin tidak panjang lagi. Aku hanya memohon padamu,Nak. Sepeninggalku nanti, kau harus tetap menjadi anak yang baik hati dan rajin bekerja. Dan jangan lupa untuk selalu mengurus ayam-ayam itu,” pesan Kakek membuat Bonartak kuasa menahan airmatanya.Lalu Kakek pun menutup matanya untuk yang terakhir. 
”Kakek jangan pergi. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Kek,” tangis Bonar tersedu-sedu.
Kepergian Kakek membuat Bonar sangat berduka. Kini ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Namun ia tetap tabah dan selalu menjaga pesan yang telah diamanahkan Kakek untuknya. Setiap hari ia selalu merawat dengan tulus ayam-ayamnya tersebut dan membawa telur-telurnya ke pasar untuk dijual.
            Seperti di kala pagi itu, Bonar tengah bersiap-siap untuk menjual telur ayamnya ke pasar. Dengan berbekal minuman dan ubi rebus, ia pun berangkat. Sesampainya di tengah jalan, ia melihat seorang ibu dan tiga orang anak kecil yang tengah menangis.Seketika Bonar datang menghampiri mereka seraya berkata,”Ibu sedang apa? Dan mengapa Ibu menangis?”
”Kami lapar sekali, Nak.Sudah lima hari ini kami tidak makan apa-apa,” jawab Ibu itu sembari berurai airmata. 
Kasihan sekali mereka, pikir Bonar haru. Ia tidak tega melihat nasib Ibu dan ketiga anaknya itu yang tengah kelaparan itu. Seketika ia teringat akan telur-telur ayam yang hendak dijualnya ke pasar itu. ”Alangkah baiknya kuberikan telur-telur ini pada mereka,bisik Bonar dalam hati. Walau telur ayamnya tidak berapa banyak, Bonar memberikannya semua pada Ibu tersebut. ”Ibu, ambillah telur-telur ayam ini. Mungkin bisa membantu Ibu dan anak-anak Ibu dari rasa lapar.”
”Terima kasih, Nak. Kamu baik sekali. Tetapi, bukankah telur-telur itu hendak kau jual ke pasar?”
Ya, Bu. Tapi Ibu dan anak-anak Ibu sangat lapar. Saya masih punya beberapa lagi di rumah kok, Bu. Yang penting Ibu dan anak-anak Ibu tidak kelaparan lagi. Ambillah, Bu.” Bonar berusaha meyakinkan Ibu itu walau sebenarnya ia tidak memiliki sisa telur ayam lagi di rumah saat ini. Tapi dengan membantu Ibu yang tengah kelaparan itu ia merasa bahagia. 
Kemudian Ibu dan ketiga anaknya itu bersuka cita menerima telur-telur ayam pemberian Bonar. Mereka lalu beranjak pergi dari tempat itu. 
Karena tidak jadi berjualan ke pasar, Bonar pun pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Bonar terkejut bukan main. Ayam-ayamnya hilang! Tidak seekor pun yang tampak berkeliaran di rumahnya. Seseorang mungkin sudah mencurinya, pikir Bonar sedih. 
Bonartidak bisa berbuat apa-apa. Ia merasa pasrah dengan hidupnya walau sebenarnya ia sangat bergantung pada ayam-ayam pemberian kakeknya itu. Dan seketika perutnya merasa lapar. Ia hanya punya bekal ubi rebus yang hendak dibawanya ke pasar tadi pagi. Ketika ia mencoba makan, seorang kakek tua lewat di depan gubugnya yang sudah reot. Kakek itu terlihat lemah sekali dengan tongkat yang membantu menggiringnya berjalan. 
”Nak, Kakek lapar sekali.. maukah kau memberikan Kakek sedikit makanan?”
Bonar memandang Kakek itu.Kasihan sekali Kakek tua ini. Ia lemah. Mungkin ubi ini bisa mengatasi rasa laparnya, pikir Bonar. Lalu ia pun memberikan ubi itupada Kakek tua itu. ”Makanlah ubi ini, Kek. Hanya ini yang aku punya.
”Terima kasih banyak, Nak. Kau sungguh berhati mulia. Hidupmu pasti akan bahagia nantinya.” Kakek itu pun berlalu dari pandangan Bonar. 
Tiba-tiba ia mendengar suara kokok ayam di belakang rumahnya. Ia pun heran dan bergegas lari ke arah suara kokok ayam itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat ada seekor ayam betina yang mengerami telur-telur yang begitu banyak. “Ayam siapa ini?” tanya Bonar keheranan. Tapi, ia tidak melihat seseorang pun ada di belakang rumahnya itu. ”Darimana ayam ini berasal ya?Aneh...tanya Bonar dalam hati.
                                                                                                                    
Tapi aku lapar sekali.Hmm..bagaimana kalau aku makan saja telur ini ya?” gumam Bonar seraya memungut telur itu. Bonar pun bersiap-siap untuk memasak telur itu. Ketika ia hendak memecahkan kulitnya, alangkah terkejutnya ia, karena ada beberapa keping emas di dalam telur itu. Matanya terbelalak sambil memandang heran tidak percaya. 
Esok harinya Bonar bergegas menuju pasar dan menjual emas-emas itu dan membelinya beberapa ekor ayam. Dengan tekun, Bonar terus merawat ayam-ayamnya hingga jumlahnya bertambah banyak. Orang-orang miskin juga selalu diberinya makan. Hingga kini ia telah menjadi orang kaya raya. Namun ia tidak pernah lupa diri, ia selalu membahagiakan orang-orang di sekitarnya. 









Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar