Pages

Sang Juara

Ilustrasi, sumber Anak Cerdas

Oleh: Mahdi Idris
            Annisa sudah melewati batas desanya. Didayungnya sepeda dengan semangat. Sesekali ia memicingkan mata, menahan silau cahaya matahari pagi yang mulai terasa panas dan perih di wajahnya. Namun ia sangat lega, karena beberapa meter lagi sampai di sekolah. Ketika ia sudah berada di depan kantor dewan guru, ia melihat jam di dinding baru menunjukkan pukul 07.15 WIB. Berarti  ia tidak terlambat.  Dan saat itu ia langsung menempatkan sepedanya di tempat parkir samping kantor. Ketika Annisa baru saja melangkah meninggalkan tempat parkir, ia melihat beberapa siswa sedang mengerumuni papan pengumaman di depan kantor dewan guru. Hatinya bertanya-tanya, apa gerangan teman-temannya itu di sana berdesak-desakan. Kemudian ia mendekati kerumunan itu. Nisa, cepat ke mari!seru Ratih, teman sekelasnya, sambil melambai tangannya. Annisa mengangguk pelan, lalu ia berjalan setengah berlari ke tempat kerumunan  yang semakin riuh itu.  Nisa, minggu depan ada lomba tingkat kecamatan. Kamu ikut ya?ujar Ratih, sebelum Annisa sempat bertanya untuk apa Ratih memanggilnya.  Lomba apa, Ratih?     
      Ada lomba  lagu daerah, tarian adat, dan melukis,jawab Ratih. Namun Annisa diam, ia belum bisa memilih salah satu cabang lomba itu.
            Kamu mau ikut kan?
            Annisa bingung menjawab pertanyaan Ratih, yang terus mendesaknya. Kepalanya menunduk, melihat sepatunya yang mulai koyak. Walaupun dia belum membaca pengumuman lomba yang tertempel di sana, ia tahu benar bahwa salah satu syarat peserta lomba berpakaian rapi seperti lomba tahun lalu. Bahkan kejadian kecil yang membuat gurunya malu ditegur panitia, karena dia memakai sepatu koyak. Dan sekarang, dia tak ingin hal serupa terulangi lagi. Namun Ratih tidak mengerti apa yang dirasakannya saat ini.                
Beberapa saat kemudian, bel tanda masuk pun berbunyi tapi Annisa belum menjawab pertanyaan Ratih.  Pokoknya, bagaimana pun kamu harus ikut, Nisa. Hadiahnya besar. Juara harapan saja hadiahnya 200 ribu,kata Ratih saat mereka berjalan ke ruang kelas.   Sebelum pelajaran dimulai, Bu Rani, kepala bidang kesiswaan, masuk ke ruang kelas empat, memilih peserta lomba melukis dari sekolah tersebut. Para siswa menunjuk Annisa sebagai peserta untuk mewakili sekolah mereka. Tapi Annisa menolaknya dengan amat santun.
            Kalau teman-teman memilih Annisa, jangan ditolak. Kata mereka memang benar. Kamu yang cocok sebagai peserta untuk mewakili sekolah kita,ujar Bu Rani, memberi semangat.  Kemudian, Bu Rani  keluar dari ruang kelas. Namun Annisa sangat gelisah, dia memikirkan dari mana mendapatkan uang untuk membeli sepatu. Ibunya tidak sanggup  membeli sepatunya kalau belum tiba masa panen di sawahnya. Ayahnya seorang nelayan yang sudah meninggal pada umurnya tiga tahun, dibawa gelombang tsunami enam tahun lalu.
            Nisa, kamu harus ikut. Apapun yang kamu butuhkan untuk ikut lomba, saya akan membantu kamu. Saya ikhlas kok,kata Ratih. Terimakasih, Ratih. Dari dulu kamu terus membantu saya. Sedangkan saya....       Ssstt...Kamu jangan bilang begitu. Saya kan teman kamu, jadi sudah kewajiban saya membantumu. Bukankah begitu Bu Hasanah bilang?ujar Ratih.          
                                                                                                   ***                                                                              Tiga hari menjelang lomba, Ratih datang dengan kakaknya ke rumah Annisa membawa berbagai bahan melukis, sepatu dan baju seragam sekolah. Annisa senang menerimanya. Namun Ratih, di balik wajahnya yang tampak berseri, seperti menyimpan sesuatu. Annisa bisa melihatnya dengan jelas, kini Ratih lain dari biasanya. Lalu, Nisa, saya minta maaf  tidak bisa menemani kamu nanti. Saya pindah sekolah ke kota, ikut Bapak yang mulai besok kerja di sana,kata Ratih, dengan mata berkaca-kaca. Iya Ratih, tidak apa-apa. Terimakasih atas bantuan kamu. Saya belum mampu membalasnya,jawab Annisa. Kemudian Ratih dan kakaknya pamit. Annisa merasa berat ditinggal  temannya itu. Tapi bagaimanapun, dia harus rela berpisah dengan satu-satunya teman yang mulai akrab sejak kelas satu.        
***
Pada hari pelaksanaan lomba, pagi-pagi sekali Annisa sudah tiba di sekolah, berangkat ke tempat perlombaan di kota kecamatan bersama teman peserta lomba tarian dan lagu daerah. Acara dimulai pada pukul 09 pagi sampai pukul 01 siang. Annisa berpisah dengan teman lainnya, karena lomba melukis dilaksanakan dalam ruangan terpisah, yang tenang dan nyaman. Pengumuman pemenang sudah tiba. Annisa  hampir tidak percaya, kalau dia mendapatkan juara pertama dalam lomba melukis. Dan di antara tepukan tangan yang riuh itu, dia mendengar seseorang memanggilnya dari belakang.                                                          
 Ratih...serunya, Annisa juga hampir tak percaya kalau yang memanggil itu Ratih. Lalu mereka berpelukan. Kedua sahabat itu menangis bahagia.  Selamat, Nisa. Kamu menang,bisik Ratih kemudian, Saya teringat kamu, sehingga datang ke mari.                                                                                                                    Tidak. Bukan saya, tapi kamulah Sang Juaranya, Ratih,balas Annisa, tersenyum.  Nisa, kamu memang teman baik. Rendah hati.  Kamu yang terbaik, Ratih. Kamu yang sudah memberi semangat saya.   Kemudian mereka melepas pelukan.  Mereka saling menatap, seakan kedua sahabat yang tak pernah bertemu setelah bertahun-tahun berpisah.**    
                                                        
Biodata Penulis
Mahdi Idris lahir di desa Keureutoe, Kec. Lapang, Aceh Utara, 3 Mei 1979. Aktif sebagai sekretaris FLP Lhokseumawe dan Balai Sastra Samudera Pasai. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit Lelaki Bermata Kabut(Cipta Media, 2011). Sekarang menetap di Tanah Luas, Aceh Utara.

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar