Pages

SAAT CACING MEMBISU



Karya: Untung Budiarso 

“Namaku Lumbricus terrestris.” Seseorang dari ujung ruang memperkenalkan diri. 

“Bentuk tubuhku pipih. Aku telah hidup selama ini dengan pertahanan cairan selom yang luar biasa dari serangan makhluk kecil di lingkunganku. Aku memang kalah bersaing dengan yang lain, sehingga tubuhku mengerdil. Sebenarnya aku bisa lebih besar lagi, jika aku mendapat makanan yang bergizi. Saudaraku; Si Merah, Si Koot, Si Kalung juga merasa punya nasib yang sama, kekurangan gizi. Ada makhluk aneh yang mencuri habis persediaan makanan kami. Mereka menjarah, membakar dan menggilas tempat hidup kami. Bahkan, sebagian dari kami disandera. Ada yang mengatakan, tubuh kami punya makna.” Terres –nama panggilan Lumbricus terrestris- menyampaikan kata-kata dalam jamuan makan malam warga penghuni tanah, tentang nasib yang dialami saudara-saaudaranya, dari kelompok Oligochaeta atau cacing tanah. 

Dari sudut ruang, seseorang memperhatikan Terres dengan haru, Caecilia namanya. Meskipun lebih besar ukuran tubuhnya, dia bukan termasuk yang seenaknya menghina. Tubuhnya kekar, penuh dengan jimat kesaktian yang akan menjaga. Pakaiannya gemerlap, penuh dengan hiasan-hiasa kalsit yang melingkar. Sebuah tampilan mengagumkan, membuat decak kagum semua yang hadir dalam jamuan makan malam. Memang, dia bukan saudara Terres, tapi sangat menghargainya. 

“Perkenalkan, Caecilia.” Caecilia memperkenalkan diri dengan anggun dan wibawa. 

“Aku tidak jauh berbeda dengan saudara kita, Terres. Aku baru tiba dari kota kelahiranku, Belantara. Aku ikut dalam acara ini untuk menyampaikan pesan saudara-saudaraku di Belantara.” Wajah Caecilia menciut. Aroma kesedihan menyeruak. Beruntung, kegagahan tubuh dan indahnya pakaian menutupi kesedihan kelompok makhluk yang mirip cacing dan ular itu. 

“Tubuhku mengerontang, setelah bertubi-tubi kota tempat kami hidup diserang raksasa-raksasa yang menggilas. Rawa tempat kami hidup hilang ditutup tanah yang mengeras. Pohon tempat kami sandarkan harapan habis terjarah. Aku hampir-hampir mengalami dehidrasi. Kotaku kini tidak tropis lagi.” 

Gryllus assimilis mengangkat tubuhnya, demi mendengar kata-kata Caecilia yang haru. Tubuhnya kering, sorot matanya menunjukkan, Milis –sapaan akrabnya- kehabisan energi. Rupanya, nasib nestapa juga melanda Milis dan saudara-saudaranya dari kelompok jangkerik. 

Gryllus assimilis angkat bicara. “Aku, Gryllus assimilis bukan dari jenis Terres juga Caecilia. Tapi, rasa senasib sebagai warga tanah mengharuskan aku angkat bicara.” Milis menghentikan bicara dan menghela nafas. 

“Setelah aku dipermainkan dalam laga yang menghasilkan taruhan, kini nasibku merana.” Milis menceritakan hal ihwal dirinya. 

“Gawat...!” Milis mengagetkan hadirin. 

“Seresah-seresah daun yang menjadi makanan bagi kaum kami lenyap. Batu-batu tempat kami hidup sekarang menyatu, membentuk batuan-batuan lebih besar yang angkuh. Kami kehilangan makna hidup. Sebagian dari kami menjadi santapan raksasa-raksasa rakus. Mereka bilang, dengan memakan tubuh kami stamina tubuh mereka akan garang. Ini ada apa?” Milis meradang. 

Makanan di depan mereka masih utuh. Tidak satu orang pun menyentuhnya. Masalah yang mereka hadapi lebih serius dari rasa lapar yang mereka rasakan. Beberapa saat seluruh hadirin terdiam. Terres tampak gelisah, tubuhnya lunglai dan tampak memucat. Caecilia menyadarkan lamunannya. 

“Terres, kamu makan duluan, nanti kami menyusul.” Usul Caecilia. 

“Mari kita makan dulu, nanti kita pikirkan jalan pemecahannya.” Milis menambahkan. 

Suasana duka menyelimuti seantero ruang. Mereka, satu-persatu mulai mengambil makanan yang tersaji. Perlahan, dan penuh arti. Rasa duka kaum mereka telah membuat lambung mengerut sebelum terisi. Enaknya makanan tidak membuat nafsunya menjadi. Dalam kepala mereka terpikir, makan apa esok hari? Masihkan ada harapan hidup untuk warga penghuni tanah negeri? Entahlah. 

Rapat tertutup sudah dimulai. Sebentar pandangan mereka saling bertemu. Tubuh Milis dicondongkan ke arah meja, diikuti hadirin yang lainnya. 

“Raksasa-raksasa itu memakan habis apapun yang ditemui. Tumbuhan, hewan, bahkan mereka memakan jenisnya sendiri, mengerikan....” kata Milis. 

“Tidak ada sedikit pun sisa makanan. Semua masuk ke lambung raksasa-raksasa itu. Ayam, yang dulu tersisa tulangnya, kini masuk semua ke lambung mereka. Kasihan teman kita anjing dan kucing.” Kata Caecilia. 

“Mereka hanya menyisakan benda yang bahkan kami tidak mampu mengunyahnya. Itu bencana...! Tanah tempat kami hidup sebentar lagi akan menjadi neraka. Ke mana kami akan melangsungkan hidup...?” kata Terres sambil menunjukkan benda yang bernama plastik. 

“Betul..., cairan-cairan panas melukai kami. Tak ada setetes pun yang dapat membasahi tubuh kami, yang menyentuh akan terbunuh, yang mencicipi akan mati. Bagaimana kami akan menghidupi anak cucu kami?” kata Caecilia. Tangannya menyeka air mata. Air mata yang mulai memerah karena bercampur darah. Ada cairan yang terlanjur masuk ke dalam perutnya. Merasuk masuk dalam urat nadinya. 

“Mengerikan..., kita harus segera ambil sikap!” kata Terres. Tangannya mengepal. 

“Pada siapa kita akan mengadu?” tanya Milis. 

“Kita adukan saja pada penjamin makan makhluk melata di dunia ini.” Kata Caecilia putus asa. 

Tidak ada lagi kalimat dari mulut Lumbricus terrestris. Rasa putus asa telah merasuk. Melemahkan kegairahan hidup, yang dulu sangat bermakna, bahkan bagi raksasa-raksasa. 

“Sudah saatnya kita membisu.” Lumbricus terrestris mengakhiri kalimatnya. 

*** 

Nenek mengakhiri membaca cerita ini saat mataku sudah mengantuk. Tak tahan... uahhh.... 

*** 

Fajar bersinar di ufuk timur / Bunyi sunyi ayam jantan menggetarkan gendang / Nayla terbangun dari mimpi panjang /Tentang makna cerita yang masih terngiang / Lumbricus terrestris, Caecilia dan Gryllus assimilis /Nasibmu kini...? /Siapa yang hatinya mati /Meringsek menusuk menggilas /Dan /Mereka pasti mati /Lumbricus terrestris, Caecilia dan Gryllus assimilis /Dulu /Menghibur hati di hari sunyi /Menggiling luluh menyubur padi /Menggigit tikus-tikus hingga mati 

Puisi ini kupersembahkan untuk Lumbricus terrestris, Caecilia dan Gryllus assimilis yang berada dalam keputusasaan. Manusia-manusia rakus telah membuat tanah tempat mereka hidup berselimut sampah. Selamat berjuang Lumbricus terrestris, Caecilia dan Gryllus assimilis. Doaku menyertai. 



Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar