Tiga Saudari dan Orang Kampung yang Kehilangan Pekerjaan

 



Oleh Tabrani Yunis


Pagi itu, matahari baru saja muncul malu-malu di balik awan. Di sebuah rumah kecil di pinggir kampung, tiga bersaudari—Nayla, Aqila, dan Arisya—duduk rapi di meja makan. Mereka sedang sarapan bersama Ayah dan Ibu. Tapi pagi itu bukan hanya tentang roti dan susu. Ada yang lebih penting mereka bicarakan.


“Teman-teman kita di kampung sebelah sedang sedih,” kata Nayla sambil mengaduk teh hangatnya. “Banjir besar dan tanah longsor bulan lalu membuat rumah mereka rusak. Mereka masih tinggal di tenda-tenda, kekurangan makanan dan air bersih.”


Aqila mengangguk. “Iya, dan yang paling menyedihkan, sawah dan ladang mereka tertimbun lumpur dan batu. Tambak ikan juga rusak. Mereka jadi tidak bisa bekerja dan mencari uang.”


Arisya, si bungsu yang suka membaca buku, ikut bicara. “Kalau orang tua mereka tidak bisa bekerja, bagaimana mereka bisa beli makanan? Bagaimana anak-anak bisa sekolah? Aku pernah baca tentang ‘generasi yang hilang’. Itu artinya anak-anak yang tidak bisa sekolah karena bencana. Masa depan mereka bisa hilang.”


Ayah dan Ibu mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka bangga melihat anak-anaknya peduli.


“Kita harus bantu mereka,” kata Nayla. “Semua orang harus peduli. Apalagi pemerintah. Mereka harus cepat membantu.”


“Kalau tidak, banyak keluarga akan makin miskin,” tambah Aqila. “Dan anak-anak tidak bisa sekolah lagi.”


Arisya mengangkat tangan. “Aku punya ide! Bagaimana kalau kita menulis surat untuk Pak Presiden? Kita ceritakan semua ini, supaya beliau tahu dan bisa membantu.”


“Wah, ide bagus!” seru Nayla dan Aqila bersamaan.


Akhirnya, setelah sarapan, mereka bertiga mengambil kertas dan pensil warna. Mereka menulis surat dengan hati yang tulus. Mereka menggambar tenda-tenda, sawah yang tertimbun lumpur, dan anak-anak yang ingin sekolah. Mereka menulis:




“Pak Presiden yang kami hormati,

Kami anak-anak dari kampung kecil. Kami sedih melihat teman-teman kami yang terkena banjir dan longsor. Mereka kehilangan rumah, makanan, dan tempat belajar. Tolong bantu mereka ya, Pak. Supaya mereka bisa sekolah lagi dan orang tua mereka bisa bekerja seperti dulu.Salam sayang,

Nayla, Aqila, dan Arisya.”


Setelah selesai, mereka memberikan surat itu kepada Ayah. “Tolong kirimkan ya, Yah,” pinta Arisya.


Ayah tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Nak. Kalian luar biasa. Kalian sudah menunjukkan bahwa anak-anak juga bisa peduli dan membantu.”


Hari itu, langit memang masih mendung. Tapi hati Nayla, Aqila, dan Arisya bersinar terang. Mereka tahu, walau kecil, suara mereka bisa membawa harapan.


---

0/Post a Comment/Comments

Iklan