Negeri Pelangi dan Suara Hati

 


Oleh Tabrani Yunis


Pagi itu, aroma nasi goreng buatan Mama memenuhi ruang makan. Arisya, Nayla, dan Aqila duduk rapi di kursi masing-masing, menikmati sarapan sambil sesekali tertawa kecil. Ayah duduk di ujung meja, menyeruput kopi Gayo kesukaannya. Seperti biasa, pagi adalah waktu favorit Ayah untuk bercerita.


“Anak-anak,” kata Ayah sambil tersenyum, “hari ini Ayah ingin bercerita tentang sebuah negeri yang jauh, namanya Negeri Pelangi.”


Ketiga anak itu langsung menoleh, mata mereka berbinar penasaran.


“Di Negeri Pelangi,” lanjut Ayah, “ada banyak pulau yang indah. Gunung-gunung menjulang, sungai-sungai mengalir jernih, dan hutan-hutan hijau menari bersama angin. Tapi, negeri itu juga sering diuji. Kadang datang badai besar, kadang gunung meletus, kadang banjir menyapu desa-desa.”


“Wah, kasihan ya, Yah,” kata Nayla sambil mengunyah pelan.


“Iya, Nak,” Ayah mengangguk. “Dan baru-baru ini, tiga wilayah di Negeri Pelangi—namanya Aca, Sumur, dan Sumbar—ditimpa bencana besar. Ada yang rumahnya hanyut, ada yang kehilangan orang yang mereka cintai, bahkan ada yang harus tinggal di tenda karena rumahnya hancur.”


Aqila menunduk. “Pasti sedih sekali ya, Yah.”


“Betul, Nak,” jawab Ayah lembut. “Tapi yang lebih menyedihkan lagi, saat mereka meminta tolong, malah ada orang-orang yang mencaci mereka. Ada yang bilang, ‘Dasar manja!’, ‘Sudah dibantu, masih saja minta-minta!’, bahkan ada yang berkata, ‘Biar saja mereka kena bencana lagi!’”


Arisya terkejut. “Lho, kok bisa begitu, Yah? Bukannya kita harus menolong?”


Ayah tersenyum, lalu berkata, “Itulah yang ingin Ayah ajarkan hari ini. Dalam hidup, kita harus selalu berkata baik dan berbuat baik, apalagi kepada orang yang sedang kesusahan. Kalau kita tidak bisa membantu dengan tangan, setidaknya jangan menyakiti dengan kata-kata.”


Mama yang baru saja duduk ikut menimpali, “Ingat, Nak, lidah itu tajam. Kata-kata bisa menyembuhkan, tapi juga bisa melukai. Kalau kita tidak hati-hati, bisa saja kita membuat orang yang sedang sedih jadi lebih terluka.”


“Kalau kita yang jadi korban bencana, lalu ada yang mengejek kita, bagaimana rasanya?” tanya Ayah.


“Sedih banget,” jawab Nayla pelan.


“Makanya,” kata Ayah, “kita harus belajar empati. Bayangkan kalau kita di posisi mereka. Kita akan tahu betapa berharganya satu kata penghiburan, satu pelukan, atau satu bantuan kecil.”


Arisya mengangkat tangan. “Yah, kalau aku lihat teman yang mengejek korban bencana, aku harus bilang apa?”


Ayah tersenyum bangga. “Katakan dengan lembut, ‘Yuk, kita belajar untuk lebih peduli. Mereka sedang sedih, bukan saatnya kita menyalahkan.’ Kadang, orang berkata buruk karena tidak tahu rasanya.”


Aqila mengangguk. “Aku mau kirim gambar dan doa untuk anak-anak di Aca. Biar mereka tahu, mereka tidak sendiri.”


“Wah, ide yang bagus!” seru Mama. “Kita bisa buat kartu ucapan bersama nanti sore.”


Pagi itu, sarapan keluarga kecil itu berubah menjadi pelajaran besar tentang kasih sayang, empati, dan kekuatan kata-kata. Di tengah dunia yang penuh tantangan, mereka belajar bahwa menjadi baik bukan soal besar kecilnya bantuan, tapi tentang hati yang tulus dan mulut yang tidak menyakiti.


---


Pesan Moral:


“Kata-kata kita adalah jendela hati. Gunakanlah untuk menguatkan, bukan menyakiti. Karena setiap orang bisa menjadi korban bencana, dan yang mereka butuhkan adalah pelukan, bukan cacian.”

0/Post a Comment/Comments

Iklan