Oleh Tabrani Yunis
Di sebuah desa kecil di kaki bukit pegunungan Aceh utara, tinggal seorang anak bernama Rahman. Ia suka bermain di hutan bersama teman-temannya, mendengarkan suara burung yang merdu di kala pagi haru, melihat kupu-kupu menari-nari di antara semak-semak belukar dan memetik buah hutan yang tumbuh liar. Seringkali mulu Rahman berwarna ungu setiap usai memakan buah dari pohon kecil yang suka dihinggapi kumbang-kumbang.
Namun sejak setahun lalu, suara gergaji dan api menggantikan suara alam yang begitu indah dan memesona itu. Rahman menyaksikan banyak pohon besar tumbang, ditebang dengan mesin sinso. Kayu-kayu gelondongan itu diangkut dengan menggunakan truk-truk besar, melintasi jalan desa. Seringkali jalan amblas, karena dilewati truk kayu yang besar-besar dan sangat berat itu.
Penebangan kayu itu telah membawa banyak kerusakan. Ya, tanah menjadi gersang di kala musim kemarau. Lalu, di kala musim hujan, sungai yang dulu jernih berubah keruh. Rahman, merasa khawatir melihat perubahan itu. Apalagi setiap kali melihat truk-truk besar membawa kayu keluar dari hutan, hatinya merasa sedih.
“Ayah, kenapa hutan kita dirusak?” tanya Rahman dengan mata berkaca-kaca.
Ayahnya menjawab pelan, “Ada yang menebang pohon sembarangan.
Mereka menebang kayu secara serampangan dan tidak menanam dengan tanaman kayu serupa. Bukan hanya itu nak, selama ini makin banyak orang yang tergila-gila menanam sawit. Mereka
Membuka lahan sawit sebesar-besar mungkin, bisa mencapai ratusan atau bahkan ribuan hektar. Jadi, hutan ditebang, diambil kayu dan isi hutan, lalu dialihkan menjadi kebun sawit yang luas membentang.
Celakanya Nak, imbuh ayah. Mereka ketika membuka lahan juga membakar hutan, dan mengubahnya jadi tambang. Sayangnya pemerintah dengan sangat mudah memberikan izin pengelolaan hutan kepada pengusaha besar tanpa kejujuran.”
Belum lama berselang, bencana besar datang menghadang desa tempat tinggal Rahman. Di akhir bulan November 2025 hujan deras berlangsung beberapa hari, dan terjadilah banjir dan longsor. Kayu-kayu gelondongan dari hutan yang ditebang, semua dihanyutkan oleh banjir bandang. Kayu -kayu gelondongan itu menghantam rumah-rumah penduduk desa. Bukan saja di desa tempat tinggal Rahman, tetapi terjadi di sejumlah desa yang ada di kabupaten Aceh Utara itu.
Banjir bandang itu sangat dahsyat, menghanyutkan rumah-rumah, merusak dan merobohkan sekolah, jembatan putus. Rupanya kejadian banjir bandang dan tanah longsor bukan saja terjadi di Aceh Utara, tetapi di 18 kabupaten di Aceh, juga di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Hampir 1000 orang meninggal, ribuan masih hilang dan lebih satu juta orang mengungsi ke tempt yang aman. Pokoknya
banyak orang kehilangan keluarga dan tempat tinggal.
Rahman dan keluarga pun harus mengungsi. Ia bersama orangtua harus mengungsi ke tempat pengungsian yang letaknya sekitar 5 km dari rumahnya. Di tempat pengungsian, ia melihat anak-anak lain yang tampak ketakutan, tidak menggunakan pakaian, dan dengan wajah sedih. Ya, mereka kehilangan mainan, buku, bahkan orang tua mereka.
Banjir bandang dan tanah longsor yang begitu dahsyat merupakan akibat dari aksi atau tindakan orang atau kelompok orang yang membabat hutan secara serampangan. Padahal “ Hutan itu bukan hanya pohon,” kata Rahman kepada teman-temannya. “Ia adalah pelindung kita. Kalau kita menyakitinya, kita juga akan terluka.”
Jadi banjir bandang yang terjadi ini adalah akibat ulah tangan manusia yang tidak peduli menjaga hutan. Mereka tidak bijak dalam memanfaatkan sumber daya alam. Sehingga dengan tanpa mempertimbangkan akibatnya, saat ini bukan hanya penduduk kampung Rahman yang menderita, tetapi semua daerah bencana mengalami nasib buruk. Sementara para perusak hutan, mereka menonton saja dari HP dan televisi dari ruang kamar mereka. Menyedihkan, bukan?
🌿 Pesan Moral:
Menjaga hutan adalah menjaga kehidupan. Jika hutan rusak, bencana bisa datang dan menyakiti banyak orang.

Posting Komentar