Oleh Tabrani Yunis
Pagi ini, sambil menyantap sarapan pagi di meja makan, ayah menyeruput segelas kopi Arabicca Gayo, dalam sajian Americano. Arisya, Nayla dan Aqila menikmati nasi goreng buatan mama. Mama masih sibuk dengan sajian untuk ditambah di meja makan. Ayah yang suka ceramah pagi ini menggunakan waktu untuk berbincang dengan ketiga puterinya.
Perbincangan itu dilatarbelakangi oleh banyaknya ucapan-ucapan tidak menyenangkan yang berseleweran di media sosial tentang kondisi para penyintas bencana ekologi di Aca, Sumur dan Sumbar.
Ayah memulai pembicaraan, seakan kejadian itu adalah sebuah kejadian dalam dongeng. Ayah memulai cerita sepert ini.
Di sebuah negeri yang dikenal dengan negeri antah berantah, sebuah negeri yang sangat luas terbentang dari barat sampai ke timur, berjajar pulau-pulau, sering terjadi bencana alam. Ada bencana gunung api yang meletus, kebakaran hutan, tsunami, banjir bandang, gempa dan tanah longsor.
Baru- baru ini di akhir bulan November 2025, terjadi bencana yang sangat dahsyat di negeri antah berantah ini. Kejadian itu melanda tiga provinsi. Satu di antara yang paling parah ada di provinsi Aca, sebuah provinsi yang berada di ujung pulau besar negeri antah berantah itu. Dua provinsi lagi berada provinsi Sumur dan Sumbar. Peristiwa itu sangat mengerikan karena lebih 1000 orang meninggal, ratusan orang hilang dan ratusan ribu terpaksa mengungsi.
Menjadi korban bencana memang sangat menyedihkan. Mereka bisa kehilangan segalanya, seperti harta benda, rumah dan kendaraan, bahkan tidak sedikit yang kehilangan nyawa. Lalu, ketika bencana usai menghantam mereka, kehidupan mereka menjadi sangat tidak menentu. Mereka kekurangan makanan, kekurangan air bersih, tidak ada MCK, kurang pakaian dan apalagi rumah. Terpaksa hidup di bawah tenda pengungsian.
Lalu, ketika mereka mengeluh dan berteriak meminta bantuan, di dunia maya, banyak yang menunjukkan sikap kurang terpuji. Sikap yang mencaci maki para korban, misalnya mengatakan dasar tidak tahu di untung, tidak bisa berterima kasih dan bahkan ada yang berucap, biarlah mereka ditelan bencana lagi, biar mati sekalian. Sedih sekali bukan. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh ditimpa tangga.
Padahal, mencaci maki atau berkata kotor kepada para korban bencana itu sangat tidak baik. Kita harusnya selalu berempati dan mengambil hikmah dari setiap bencana. Sering kita lupa, kalau bencana itu tidak hanya dalam bentuk banjir, tanah longsor, tetapi ada banyak bencana yang terjadi di dunia ini. Bahkan kita pernah mengalami bencana global yang sangat mematikan yaitu Covid 19. Bencana itu juga tidak memilih -milih korban. Siapa pun bisa jadi korban. Oleh sebab itu, sebaiknya kita bijak dan sadar serta bertanya pada diri sendiri, seandainya bencana seperti di Aca, Sumur dan Sumbar terjadi di tempat kita, lalu banyak yang menghujat kita, apa yang akan kita rasakan? Sakit hati? Menangis atau apa?

Posting Komentar