Oleh Inong Literasi Team
Diangkat dari Cerita Adiba Syaqila
Murid Kelas 2 MIN 1 Pidie Jaya
Di Hari ke-27 Banjir
Adiba Syaqila berusia enam tahun. Ia duduk di kelas 1 MIN 1 Pidie Jaya. Saat banjir itu datang, Adiba berada di rumah bersama mak dan adiknya di Gampong Pante Geulima. Awalnya, tak ada yang benar-benar panik. Air datang seperti biasa, perlahan. Orang-orang mengira ini hanya banjir yang akan segera lewat. Karena itu, Adiba dan keluarganya memilih bertahan di rumah.
Namun air tak berhenti naik. Pelan-pelan, lalu semakin cepat. Hingga akhirnya, mereka sekeluarga mengungsi ke SDIT An-Nuur. Di sana, sudah banyak warga lain yang lebih dulu mencari perlindungan. Mereka naik ke lantai atas gedung sekolah bertingkat itu dengan harapan air segera surut dan semuanya bisa kembali seperti semula.
Harapan itu tak terjadi. Air justru terus naik, hingga hampir sepuluh meter.
Adiba, keluarganya, dan warga lainnya terjebak di atas gedung selama tiga hari tiga malam.
Selama itu, tak ada makanan. Tak ada air minum.
Yang bisa mereka minum hanyalah air hujan yang ditampung dari pancuran. Begitu pula Adiba, adiknya yang masih kecil, dan anak-anak lainnya. Tubuh mereka lemah, tapi mereka bertahan. Dalam kondisi yang nyaris tak terbayangkan, Allah memberi kekuatan agar mereka mampu melewati hari-hari itu.
Pada hari ketiga, adik Adiba dibantu tim SAR turun dari lantai tiga gedung sekolah. Setelah itu, Adiba dan keluarganya dijemput oleh saudara mereka dan dibawa ke Gampong Peulandok, Kecamatan Trienggadeng. Di sanalah, setelah tiga hari tiga malam menahan lapar dan haus, adik Adiba akhirnya bisa makan dan minum dengan layak. Malam itu, ia tidur nyenyak, tidur panjang dan tenang, seolah tubuh kecilnya baru benar-benar menemukan tempat aman.
Sekitar seminggu setelah kejadian, Adiba dan keluarganya kembali ke rumah mereka. Namun kampung yang mereka temui bukan lagi kampung yang mereka kenal. Rumah-rumah hancur. Kayu-kayu besar berserakan di mana-mana, menumpuk dan memenuhi hampir seluruh kampung.
Adiba memandang sekeliling dengan bingung.
“Mak, dari mana datangnya kayu-kayu ini?” tanyanya.
Maknya juga tak tahu.
Ia bertanya pada orang lain. Orang-orang pun menggeleng. Tak ada yang benar-benar tahu dari mana semua kayu besar itu datang.
Kayu-kayu itu terlalu besar, terlalu banyak. Kampung mereka porak-poranda karenanya. Adiba mencoba memahami dengan pikirannya yang masih kecil, tapi tak menemukan jawaban.
Yang paling mengejutkan, kini kampung mereka dialiri sungai baru. Sungai lama tertutup oleh tumpukan kayu, dan air membentuk jalur baru yang melintas di tengah permukiman. Aliran sungai itu mengambil rumah-rumah penduduk, jalan tempat orang biasa berlalu-lalang, bahkan halaman SDIT An-Nuur, tempat anak-anak dulu berlari dan bermain. Tanah lapang yang biasa digunakan anak-anak untuk bermain di sore hari kini telah lenyap, ditelan aliran sungai.
Adiba berdiri memandang semuanya dalam diam. Kampung yang ia kenal, tempat ia tumbuh dan bermain, kini berubah selamanya. Ia tak lagi bertanya. Barangkali ada peristiwa yang terlalu besar untuk dijelaskan kepada anak berusia enam tahun.

Posting Komentar