Ketika Hujan Tak Lagi Membawa Ketenangan




Oleh; Hurriyatuddaraini 

_Inong Literasi_


Malam turun pelan di camp pengungsian.

Tanah masih basah. Bau lumpur belum sepenuhnya pergi.

Di bawah tenda terpal yang menua, beberapa keluarga mencoba berdamai dengan dingin.

Seorang ibu berdiri di dekat bak air darurat.

Hijabnya lembab, bajunya penuh noda tanah.

Di sisi kanannya, seorang anak kecil menempel erat, matanya sembab.

Di kejauhan, suara hujan kembali terdengar pelan, tapi cukup untuk membuat tubuh si kecil menegang.

“Mak…”

suara itu lirih, nyaris tenggelam oleh rintik hujan.

“Adek capek, lelah. Adek mau pulang. Mau tidur di kamar.”

Sang ibu menunduk. Tangannya mengusap kepala anak itu perlahan.

Ia menarik napas panjang, seolah sedang memilih kata yang paling tidak melukai.

“Kita pulang nanti ya, Nak…”

ujarnya pelan.

“Sekarang kita di sini dulu.”

Anak itu menggeleng.

“Dingin, Mak… Adek nggak suka hujan.”

Hujan.

Satu kata yang kini membuat banyak anak di camp ini terdiam lebih lama dari seharusnya.

Sang ibu memeluk lebih erat.

“Peluk mamak aja dulu ya,” bisiknya. “Biar hangat.”

Anak itu menyandarkan kepala ke dada ibunya.

Namun tubuh kecilnya masih bergetar, bukan hanya karena dingin.

“Rumah kita ke mana, Mak?”

tanyanya lagi, polos, tanpa tahu beratnya pertanyaan itu.

Ibu itu menatap tanah.

Matanya basah, tapi ia tersenyum. Senyum yang dipelajari dengan susah payah sejak hari air datang tanpa aba-aba.

“Rumah kita…”

ia berhenti sejenak, suaranya tercekat, lalu melanjutkan,

“rumah kita sekarang masih Allah titipkan.”

Anak itu terdiam.

Ia tidak sepenuhnya mengerti.

Namun ia tahu satu hal: ibunya ada di sana.

Di sekitar mereka, cerita serupa berulang.

Anak-anak yang menolak tidur saat hujan turun.

Ibu-ibu yang terjaga sepanjang malam.

Ayah-ayah yang duduk di tepi tenda, memandangi langit, berjaga seolah bisa menahan air dengan tatapan.

Trauma tidak selalu berupa tangisan.

Kadang ia hadir dalam diam.

Dalam tubuh kecil yang kaku setiap kali hujan datang.

Dalam orang dewasa yang tampak kuat, tapi selalu siap berlari.

Di camp pengungsian ini, hujan bukan lagi sekadar cuaca.

Ia adalah ingatan.

Ia adalah ketakutan yang belum selesai.

Namun di tengah itu semua, ada hal-hal kecil yang tetap bertahan.

Pelukan seorang ibu.

Nada suara yang diturunkan agar anak tidak semakin takut.

Kalimat sederhana yang diulang berkali-kali,

“Tenang ya, Nak. Mamak ada.”

Malam semakin larut.

Hujan perlahan reda.

Anak itu akhirnya terlelap, pmasih dalam pelukan.

Dan di camp pengungsian itu,

di antara tenda, lumpur, dan kenangan yang belum pulih,

harapan tetap hidup, 

bukan karena keadaan sudah membaik,

melainkan karena cinta belum menyerah.

0/Post a Comment/Comments

Iklan