Kampung Aceh yang Gelap Gulita


 


Oleh Tabrani Yunis


Di  kampung Aceh, sebuah kampung yang terletak di paling ujung barat Pulau Sumatera, hiduplah tiga bersaudara: Arisya, Aqila, dan Nayla. Mereka tinggal bersama ayah dan ibu di sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi pohon-pohon kelapa dan suara burung di pagi hari. Sebuah kampung yang dikenal sangat kaya dengan sumber alamnya. Ada emas, minyak, gas alam, yang tersimpan di dalam bumi Aceh.


Ya, karena banyaknya sumber daya alam di kampung Aceh, banyak pihak yang datang ke kampung ini untuk mengeruk dan mengolah sumber daya itu. Ada yang mengelolanya dengan bijak dan tidak sedikit yang berperilaku sangat serakah. Mereka menguras semua sumber daya itu secara serampangan. Sehingga Kampung Aceh yang memiliki banyak sumber daya alam itu dihempas bencana ekologi yang sangat dahsyat. Hampir seribu orang mati dihantam banjir. Rausan orang masih hilang, ribuan orang luka dan cedera.  Mereka terpaksa hidup di tenda-tenda atau rumah bekas hantaman banjir dan tanah longsor.


Jadi  sejak bencana alam melanda kampung Aceh, semuanya berubah dengan sangat mengerikan. Lalu,  di tengah bencana yang mematikan itu, sarana penerangan yakni listrik juga padam dan juga hubungan komunikasi lewat internet ikut terganggu. Para korban dan masyarakat kampung sulit berkomunikasi dengan masyarakat di luar kampung. Para korban hidup dalam kelapan dan kelaparan, karena mereka tidak punya makanan. Tidak punya sumber air bersih, terpaksa minum dan masak dengan air keruh. Juga belum ada tempat berteduh dengan layak.


Semua ini terjadi katanya karena hujan deras turun berhari-hari. Yang juga segala oleh hilangnya daya serap hutan, akibat penebangan hutan secara serampangan oleh pengusaha dan penguasa perusak hutan. Sehingga, sungai meluap, jalan-jalan rusak, dan jembatan roboh. Listrik padam. Internet mati. Air bersih pun sulit didapat. Orang-orang kesulitan untuk mandi, mencuci, bahkan berwudhu untuk salat.


Malam itu, langit gelap tanpa listrik, tanpa bintang. Rumah-rumah sunyi, cahaya lilin kecil pun yang berkelip di sudut-sudut, tidak terlihat. Arisya duduk di dekat jendela, memeluk buku pelajarannya yang belum sempat dibaca.


“Ayah,” bisiknya pelan, “kenapa kampung kita gelap terus? Bukankah katanya listrik akan kembali?”


Ayah menarik napas panjang. “Kadang, Nak, janji bisa datang lebih cepat dari kenyataan. Pemerintah sedang berusaha, tapi belum cukup cepat untuk kita.”


Arisya menunduk. “Aku ingin belajar, Ayah. Tapi tak bisa melihat huruf-hurufnya.”


Aqila dan Nayla yang duduk di dekatnya juga mengangguk. Mereka rindu belajar, rindu sekolah, rindu cahaya.


Ayah tersenyum lembut. “Kita memang sedang diuji. Tapi ingat, cahaya tidak hanya datang dari lampu. Ia juga bisa datang dari hati yang sabar dan semangat yang tak padam.”


Malam itu, di tengah gelap gulita, Arisya dan kedua kakaknya menyalakan cahaya kecil dari dalam diri mereka: dengan saling bercerita, mengulang hafalan, dan berdoa agar esok lebih terang. Aqila pun bertanya, kapan ya listrik ini bisa nyala menerangkan kampung Aceh.


Ayahnya dengan tenang menjawab, sabar nak. Ini cobaan bagi kita. Kita hanya merasakan gelap gulita. Sementara saudara-saudara kita korban bencana ekologis di beberapa kampung hidupnya lebih berat dan teraniaya. Mereka bertahan hidup dalam keadaan serba tak ada. Bersyukurlah bahwa kita masih dilindungi Allah.


0/Post a Comment/Comments

Iklan