Hujan yang Galau

 



Oleh Tabrani Yunis



Pada malam yang sunyi, tanggal 25 Desember 2025, langit menangis deras. Hujan turun tanpa henti, membasahi bumi, pohon, dan atap tenda-tenda pengungsian.


Di sebuah tenda kecil yang hangat, tiga sahabat—Arisya, Aqila, dan Kak Nayla—sedang belajar bersama. Tapi malam itu, suasana tidak seperti biasanya. Arisya yang biasanya ceria, kini duduk diam sambil memeluk lututnya.


“Aku takut, Kak Nayla,” bisik Arisya. “Bagaimana kalau banjir datang lagi?”


Kak Nayla memeluk Arisya dengan lembut. “Tenang, sayang. Kita di tempat yang lebih tinggi sekarang. Tapi kita tetap harus waspada.”


Tiba-tiba, Aqila yang sedang mengintip dari celah tenda berteriak, “Air! Banjir datang lagi!”


Semua orang di tenda terdiam. Di luar, air mulai mengalir deras, menutupi jalan dan kebun. Tapi untunglah, tenda mereka aman karena berada di atas bukit kecil.


Malam itu, tak ada yang bisa tidur. Anak-anak memeluk selimut, sementara para orang dewasa berjaga di luar. Di dekat api unggun kecil, duduk seorang kakek tua bernama Pak Umar. Ia menatap langit yang masih menangis.


“Hujan ini sebenarnya tidak salah,” kata Pak Umar pelan. “Ia hanya ingin menyiram bumi. Tapi karena hutan kita sudah banyak ditebang, air hujan tak bisa lagi diserap tanah. Maka banjir pun datang.”


Anak-anak mendengarkan dengan serius.


“Dulu, hutan kita lebat. Pohon-pohon besar menjaga tanah agar tidak longsor. Tapi sekarang, banyak yang menebang pohon untuk kebun sawit. Mereka tidak tinggal di sini, tapi kita yang harus menanggung akibatnya,” lanjut Pak Umar.


Arisya menatap langit yang masih kelabu. “Jadi, hujan juga sedih ya, Kek?”


Pak Umar tersenyum. “Iya, mungkin hujan juga galau. Ia ingin membantu, tapi malah membawa bencana karena kita tidak menjaga alam.”


Keesokan harinya, saat hujan mulai reda, Arisya, Aqila, dan Nayla membuat rencana. Mereka ingin menanam pohon bersama teman-teman di pengungsian. Mereka ingin menjaga hutan, agar hujan bisa kembali ceria, dan kampung mereka aman.


Karena mereka tahu, jika anak-anak peduli, masa depan bisa berubah. Dan hujan pun, tak perlu galau lagi.


Di sebuah tenda kecil yang hangat, tiga sahabat—Arisya, Aqila, dan Kak Nayla—sedang belajar bersama. Tapi malam itu, suasana tidak seperti biasanya. Arisya yang biasanya ceria, kini duduk diam sambil memeluk lututnya.


“Aku takut, Kak Nayla,” bisik Arisya. “Bagaimana kalau banjir datang lagi?”


Kak Nayla memeluk Arisya dengan lembut. “Tenang, sayang. Kita di tempat yang lebih tinggi sekarang. Tapi kita tetap harus waspada.”


Tiba-tiba, Aqila yang sedang mengintip dari celah tenda berteriak, “Air! Banjir datang lagi!”


Semua orang di tenda terdiam. Di luar, air mulai mengalir deras, menutupi jalan dan kebun. Tapi untunglah, tenda mereka aman karena berada di atas bukit kecil.


Malam itu, tak ada yang bisa tidur. Anak-anak memeluk selimut, sementara para orang dewasa berjaga di luar. Di dekat api unggun kecil, duduk seorang kakek tua bernama Pak Umar. Ia menatap langit yang masih menangis.


“Hujan ini sebenarnya tidak salah,” kata Pak Umar pelan. “Ia hanya ingin menyiram bumi. Tapi karena hutan kita sudah banyak ditebang, air hujan tak bisa lagi diserap tanah. Maka banjir pun datang.”


Anak-anak mendengarkan dengan serius.


“Dulu, hutan kita lebat. Pohon-pohon besar menjaga tanah agar tidak longsor. Tapi sekarang, banyak yang menebang pohon untuk kebun sawit. Mereka tidak tinggal di sini, tapi kita yang harus menanggung akibatnya,” lanjut Pak Umar.


Arisya menatap langit yang masih kelabu. “Jadi, hujan juga sedih ya, Kek?”


Pak Umar tersenyum. “Iya, mungkin hujan juga galau. Ia ingin membantu, tapi malah membawa bencana karena kita tidak menjaga alam.”


Keesokan harinya, saat hujan mulai reda, Arisya, Aqila, dan Nayla membuat rencana. Mereka ingin menanam pohon bersama teman-teman di pengungsian. Mereka ingin menjaga hutan, agar hujan bisa kembali ceria, dan kampung mereka aman.


Karena mereka tahu, jika anak-anak peduli, masa depan bisa berubah. Dan hujan pun, tak perlu galau lagi.


0/Post a Comment/Comments

Iklan