Bendera Putih di Langit Aceh

 


Oleh Tabrani Yunis

Pagi itu, Aqila duduk di ruang tamu sambil memegang tablet. Ia baru saja selesai sarapan ketika matanya tertumbuk pada sebuah berita yang membuatnya terdiam.


“Banyak bendera putih berkibar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat,” begitu judulnya.


Aqila mengernyit. Bendera putih? Dari negara mana ya? pikirnya.


Ia segera berlari ke arah ayahnya, yang sedang sibuk mengeluarkan barang dari dalam POTRET Gallery, yang berada di jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango Raya, Banda Aceh itu.


“Ayah, bendera putih itu dari negara mana, ya?” tanya Aqila penasaran.


Ayah yang sedang mengeluarkan barang -barang gantungan kunci  dan miniatur rumah adat menoleh. “Kamu lihat di mana, Nak?”


“Di berita online. Katanya banyak bendera putih dikibarkan di daerah bencana. Tapi kenapa putih? Bukannya bendera kita merah putih?” tanya Aqila lagi.


Ayah tersenyum tipis. “Benar, bendera kita memang merah putih. Tapi kalau hanya putih saja, itu bukan bendera negara. Itu tanda… tanda bahwa orang-orang sedang sangat kesusahan.”


Aqila terdiam. “Maksudnya?”


Ayah meletakkan barang di tangannya, lalu duduk di bangku kayu di depan sebelah kanan POTRET Gallery. “Bendera putih itu dikibarkan oleh warga yang terkena bencana. Mereka sudah tidak sanggup bertahan. Itu seperti seruan minta tolong. Seperti mengatakan, ‘Tolong kami… kami sudah tidak kuat.’”


Aqila menunduk. “Kenapa mereka tidak ditolong, Ayah?”


Ayah menarik napas panjang. “Karena belum semua orang tahu betapa berat penderitaan mereka. Dan karena pemerintah belum menetapkan bencana itu sebagai bencana nasional. Bahkan bantuan dari luar negeri pun ditolak.”


Aqila mengingat cerita guru sejarahnya tentang tsunami Aceh dulu. “Waktu tsunami, banyak negara bantu, ya, Yah?”


“Iya. Dunia datang membantu. Pemerintah menutup pintu bantuan.  Tapi sekarang, banyak yang merasa sendiri.” Sehingga masyarakat luar negeri tidak bisa datang membantu. Sudah tidak menetapkan sebagai bencana nasional, bantuan orang luar juga tidak boleh. Sedih sekali, bukan?


Aqila menggigit bibirnya. Ia merasa dadanya sesak. “Kalau begitu… Aqila mau cerita ke teman-teman. Biar mereka tahu. Biar kita bisa bantu.”


Ayah tersenyum haru. “Itu ide yang bagus, Nak. Cerita bisa jadi jembatan. Kalau banyak yang tahu, mungkin banyak juga yang peduli.”


Hari itu, Aqila menulis di buku hariannya. Ia menggambar bendera putih yang berkibar di antara rumah-rumah yang rusak. Di bawahnya, ia menulis:


“Bendera putih bukan tanda menyerah. Tapi tanda harapan. Harapan agar kita semua peduli.”


---

0/Post a Comment/Comments

Iklan