Oleh Tabrani Yunis
Di sebuah desa kecil bernama Meurandeh Alue, tinggal seorang anak bernama Rafi. Ia suka bermain layang-layang di lapangan dan membantu ayahnya menanam padi. Ia seorang anak yang rajin dan berprestasi di sekolahnya. Ia hidup bahagia bersama kedua orang tuanya. Orang-orang di kampungnya hidup damai dan saling bersahabat. Pokoknya mereka hidup sejahtera. Tapi pada akhir bulan November 2025, semuanya berubah.
Hari itu, hujan turun sejak pagi. Bukan hujan biasa, tapi deras sekali, seperti langit sedang menangis. Sungai di dekat rumah Rafi meluap. Airnya mengalir sangat deras. Bukan saja airnya yang deras, tetapi air yang membawa lumpur, batu-batu besar itu. Dahsyatnya lagi di sungai juga menghanyutkan kayu-kayu gelondongan dari hulu sungai. Kayu-kayu itu menghantam jembatan dan rumah -rumah masyarakat dan merubuhkan sebuah pesantren atau dayah berlantai 3 yang letaknya tidak jauh dari sungai.
Orang-orang berteriak, “Banjir! Banjir bandang datang!” Mereka berlari menyelamatkan diri. Karena banjir semakin tinggi dan menghantam perkampungan. Untunglah Rumah Rafi tidak dihantam oleh banjir dan gelondongan kayu besar yang hanyut dibawa air bah itu.
Namun, Rafi dan keluarganya berlari ke tempat lebih tinggi. Mereka melihat rumah-rumah hanyut, jembatan roboh, dan sekolahnya tenggelam. “Ayah, kenapa ini terjadi?” tanya Rafi. Ayahnya menjawab, “Ini banjir bandang, Nak. Hujan deras dan terus menerus membuat sungai tak sanggup menampung air.” Apalagi hutan -hutan kita yang maha luas itu, sudah ribuan hektar ditebang oleh pembalak hutan. Mereka mengalihfungsikan menjadi kebun-kebun sawit yang maha luas. Juga karena kegiatan tambang, sehingga banyak kayu gelondongan yang hanyut dan menghancurkan rumah masyarakat dan fasilitas jalan, seperti jembatan dan badan jalan.Ini semua karena keserakahan manusia.
Mereka menghancurkan hutan kita untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, tanpa peduli akan akibatnya.
Selain banjir, hujan juga membuat banyak bukit yang mengalami longsor. Longsor juga telah memuncurlan jalan-jalan dan banyak jembatan. Pokoknya belum sempat banjir surut, tanah di bukit belakang desa mulai bergerak. “Tanah longsor!” warga kampung berteriak-teriak minta tolong. Apa daya, pohon-pohon tumbang, dan jalan menuju kota tertutup lumpur. Desa Rafi terisolasi. Tidak ada sinyal, tidak ada listrik.
Semua kampung gelap, akses internet juga tidak ada. Yang sangat menyakitkan adalah ketika bencana banjir bandang itu melanda hingga 18 kabupeten. Banyak orang meninggal dan hilang hanyut dibawa banjir bandang, termasuk ternak mereka seperti kambing, ayam, bebek, sapi dan kerbau mati menjadi bangkai-bangkai yang setelah banjir akan mengeluarkan bau busuk. Sementara orang-orang yang selamat, berjuang hidup mencari tempat aman di bangunan-bangunan tinggi.
Tiga hari kemudian, banyak kampung yang masih digenangi banjir. Mereka tidak punya makanan dan air minum. Mereka harus menahan lapar sambil menunggu ada makanan yang hanyut di bawa air. Mereka menjerit meminta bantuan. Sayangnya tidak ada yang dapat membantu. Setelah beberapa hari, air surut. Di jalan-jalan di kawasan banjir nampak terlihat kendaraan-kendaraan yang hantam banjir berguling dan ada truk-truk bertindih. Sangat mengerikan.
Ternyata memang benar bahwa bukan hanya desa Rafi yang terkena bencana. Di seluruh Aceh—di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tenggara, dan 15 kabupaten/kota lainnya—banjir, longsor, dan bahkan gempa telah melanda pula di pulau Simeulue. Banyak anak-anak kehilangan rumah, sekolah, bahkan orang tua mereka juga kehilangan pencaharian.
Tapi Rafi tidak menyerah. Setelah banjir surut dan masyarakat keluar dari tempat menyelamatkan diri Ia dan teman-temannya ikut ke tempat pengungsian. Di sana ia membantu membersihkan lumpur, menyalakan api unggun untuk pengungsi, dan menggambar harapan di dinding tenda. “Kita akan bangkit,” kata Rafi. “Bumi boleh berguncang, tapi hati kita tetap kuat.”

Posting Komentar