Oleh Tabrani Yunis
Hujan turun sejak pagi. Langit di Aceh tampak kelabu, dan angin bertiup pelan. Di teras rumah, tiga sahabat—Arisya, Aqila, dan Nayla—duduk sambil memandangi rintik hujan yang menari-nari di atap seng.
“Sudah tiga hari hujan terus,” kata Arisya sambil memeluk lututnya. “Aku baca berita, banyak anak-anak di pengungsian karena banjir bandang.”
“Pengungsian itu apa, sih?” tanya Aqila penasaran.
“Itu tempat sementara untuk orang-orang yang rumahnya rusak karena bencana,” jawab Arisya. “Kasihan anak-anak di sana. Mereka nggak bisa main, nggak bisa belajar. Sekolah mereka rusak, dan mereka nggak punya buku, seragam, atau sepatu.”
“Wah, sedih banget,” ucap Aqila. “Kita sebentar lagi masuk sekolah tanggal 5 Januari. Tapi mereka? Mau sekolah di mana?”
Nayla mengangguk. “Benar. Mereka juga nggak punya alat tulis atau kendaraan ke sekolah. Bahkan, ada yang berdiri di pinggir jalan, berharap ada orang baik hati yang memberi makanan atau pakaian.”
Ketiganya terdiam sejenak. Hujan masih turun, tapi hati mereka terasa hangat oleh rasa peduli.
“Aku punya ide!” seru Nayla tiba-tiba. “Bagaimana kalau kita bantu mereka?”
“Bantu gimana?” tanya Arisya.
“Kita bisa sisihkan uang jajan kita. Lalu ajak teman-teman di sekolah untuk berdonasi. Kita bisa beli buku, pensil, seragam, dan sepatu untuk mereka,” jelas Nayla bersemangat.
“Wah, ide bagus!” seru Aqila. “Aku punya celengan yang belum dibuka. Kita bisa mulai dari situ!”
“Setuju!” kata Arisya sambil tersenyum. “Sekecil apa pun bantuan kita, pasti sangat berarti buat teman-teman di pengungsian.”
Mereka bertiga pun berjanji akan mengajak teman-teman lain untuk ikut peduli. Karena mereka tahu, menjadi anak baik bukan hanya soal belajar dan bermain, tapi juga saling membantu saat ada yang kesusahan.

Posting Komentar