Oleh Juni Ahyar
Di sebuah desa kecil di pedalaman, hiduplah seorang pemuda bernama Raffa. Ia berbeda dengan anak-anak seusianya. Sementara yang lain riuh bermain, Raffa lebih sering duduk sendiri, menulis puisi, atau menggambar di atas lembaran kertas usang.
“Anak itu aneh, jarang bicara,” gumam orang-orang.
Padahal, Raffa hanya memilih berbicara lewat pena. Setiap goresan tinta dan arsiran pensilnya adalah bahasa yang lahir dari dalam hatinya—bahasa yang tak mampu ia ucapkan.
Sejak kecil, dunia Raffa adalah seni. Buku seni dan sastra menjadi sahabatnya. Ia percaya bahwa setiap garis dan kata adalah cara jiwanya untuk bersuara. Di usia 17 tahun, bakatnya semakin matang. Puluhan lukisan dan puisi lahir dari kesunyian itu.
Pertemuan di Padang Rumput Suatu sore, di padang rumput tempat Raffa biasa menyendiri, datanglah seorang gadis bernama Naya. Ia adalah penduduk baru, anak seorang seniman kota yang pindah ke desa karena tugas ibunya.
“Hi… aku Naya. Kamu siapa?” sapanya ceria.
Raffa hanya melirik sekilas, lalu kembali menunduk menatap buku sketsanya.
Naya memperhatikan lukisan Raffa. Ada sesuatu yang berbeda. Garis-garis itu tidak sekadar indah, tapi juga penuh makna.
“Lukisanmu luar biasa… aku kagum,” ucap Naya.
Tanpa sengaja, Naya membuka buku tua milik Raffa. Di dalamnya, puisi-puisi penuh emosi seakan melompat keluar dari lembaran.
“Ini semua karyamu? Sungguh… kamu punya jiwa seni yang menakjubkan,” kata Naya terkesima.
Raffa hanya menjawab singkat, “Ya.”
Di sela kebekuan, Naya membaca salah satu puisi Raffa dengan nada teatrikal, tangannya menari di udara, seperti pemain drama klasik. Raffa yang biasanya dingin tak bisa menahan senyum kecil. Senyum itu membuat Naya merasa berhasil menembus tembok sunyi Raffa.
Keyakinan yang Menyala Malam itu, di rumah, Naya mendengar ibunya bingung mencari inspirasi untuk pameran seni besar di kota.
“Bu, aku punya ide. Ada anak di desa ini… namanya Raffa. Dia hebat, karyanya penuh jiwa,” kata Naya penuh semangat.
Keesokan harinya, Naya mendatangi Raffa.
“Raffa, maukah kamu bergabung dalam proyek seni ibuku? Dunia harus melihat karyamu,” ajaknya.
Namun Raffa hanya menjawab lirih, “Tidak ada gunanya. Orang-orang tidak peduli. Mereka tidak akan mengerti.”
“Kau salah, Raffa,” kata Naya mantap. “Karya-karyamu adalah suara hatimu. Biarlah dunia mendengar suaramu lewat lukisan dan puisimu, tanpa kau perlu berkata-kata.”
Kata-kata Naya seperti benih keyakinan yang perlahan tumbuh di hati Raffa.
Ketika Sunyi Menemukan Suara Beberapa hari kemudian, Naya datang bersama ibunya ke rumah Raffa. Dengan harap-harap cemas, mereka mendengar jawabannya.
“Aku… setuju,” ucap Raffa perlahan.
Ibunda Naya melihat kumpulan puisi Raffa, dan di halaman terakhir ia menemukan bait yang membuatnya terdiam lama:
Ada suara dalam jiwaku,
Yang tak lahir di antara kata,
Ia terletak namun bisu,
Bernyanyi dalam dada yang luka.
Bukan senyum yang kuinginkan,
Tapi lidah tak lagi berani,
Setiap huruf jadi hujan,
Tenggelam dalam sunyi sendiri.
“Ini… bukan sekadar karya,” bisik ibu Naya. “Ini adalah jeritan hati yang memilih bernyanyi dalam diam.”
Akhir yang Menggema Beberapa bulan kemudian, pameran seni di ibu kota menampilkan lukisan dan puisi Raffa. Tanpa sepatah kata pun, karya itu memikat hati ratusan pengunjung.
Pada sebuah papan kecil di sudut pameran, Raffa hanya menuliskan:
“Ini adalah suara hati saya.”
Untuk pertama kalinya, Raffa tak perlu bersuara. Dunia mendengar sunyinya. Dan di tengah riuh tepuk tangan, Naya berdiri dengan mata berbinar. Ia tahu, sunyi Raffa kini telah berubah menjadi nyanyian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar