Pages

Amanah yang Berat



Oleh Wiji Lestari

Kepala SMK Musa Cepu

Di sebuah negeri kecil bernama Lantira, hidup seorang pemimpin muda bernama Ardan. Ia baru saja dilantik menjadi kepala desa setelah pemimpin sebelumnya, Pak Wira, mengundurkan diri secara tiba-tiba karena sakit.

Ardan bukan berasal dari keluarga berpengaruh, bukan pula keturunan bangsawan. Ia hanyalah anak seorang petani yang sejak kecil terbiasa hidup sederhana. Namun, kejujuran dan semangatnya dalam membantu warga membuatnya dipercaya untuk memimpin. Banyak yang berharap, Ardan bisa membawa perubahan di tengah kondisi desa yang sulit.

Namun, belum genap satu minggu menjabat, Ardan menemukan kenyataan pahit. Desa Lantira menanggung utang besar akibat kebijakan pemimpin sebelumnya yang sembrono, proyek infrastruktur tanpa perencanaan matang, pemborosan anggaran, dan utang yang disembunyikan dari warga. Total utangnya mencapai ratusan juta rupiah, sementara kas desa hampir kosong.

Ardan terduduk lama di ruang kerjanya. Ia tahu, ini bukan kesalahannya. Tapi sebagai pemimpin saat ini, tanggung jawab ada di pundaknya. Ia harus mencari solusi, bukan menyalahkan masa lalu.

***

Ardan teringat ucapan gurunya saat di sekolah menengah, “Seorang pemimpin tidak hanya menerima kemuliaan dari jabatan, tetapi juga mewarisi beban yang belum terselesaikan. Amanah itu tak bisa ditawar.”

Malam itu, Ardan tak tidur. Ia menyusun rencana: memangkas pengeluaran tidak penting, membuka transparansi anggaran kepada publik, dan mengadakan pertemuan warga setiap pekan. Ia ingin semua warga tahu kondisi sebenarnya—tanpa ditutup-tutupi.

Beberapa warga awalnya marah dan kecewa. “Mengapa Ardan yang harus menanggung ini semua?” keluh seorang ibu.

Namun Ardan tetap sabar menjelaskan. “Kalau kita saling menyalahkan, utang ini tidak akan lunas. Tapi kalau kita gotong royong, pelan-pelan kita bisa bangkit.”

***

Di tengah krisis, Ardan tetap berusaha menjadi pemimpin yang adil dan mengayomi. Ia mendengarkan keluhan pedagang pasar yang tercekik oleh pajak tinggi, membantu petani mendapatkan pupuk secara kolektif, dan memfasilitasi pelatihan kerja bagi pemuda desa.

Ardan tidak ingin rakyatnya merasa ditinggalkan. Ia hadir di tengah mereka, tak hanya dalam rapat resmi, tapi juga saat panen, saat banjir, dan bahkan ketika ada warga yang kehilangan anggota keluarganya.

Sikap itu membuat kepercayaan warga mulai tumbuh. Beberapa orang kaya di desa bahkan mulai menyumbangkan dana untuk membayar sebagian utang desa. Anak-anak muda mulai bergabung menjadi relawan pembangunan. Sedikit demi sedikit, desa Lantira berubah.

***

Setahun berlalu. Laporan keuangan desa menunjukkan penurunan utang yang signifikan. Masyarakat pun mulai merasakan manfaat dari kepemimpinan baru: jalan diperbaiki, bantuan sosial tepat sasaran, dan tidak ada lagi proyek siluman.

Dalam peringatan Hari Desa, seorang anak bertanya pada Ardan, “Pak Ardan, apa yang paling sulit jadi pemimpin?”

Ardan tersenyum. “Yang paling sulit adalah bersabar saat semua orang marah, dan tetap tenang saat semua orang panik. Tapi yang paling penting, kita harus tetap jujur, meskipun kejujuran itu pahit di awal.”

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar