Pages

Ayam yang Sombong



Oleh Anton Sucipto, SP

Pada suatu hari, tampaklah beberapa ekor ayam yang berada di halaman dari sebuah kandang yang cukup luas. Di tempat itu , ada  ayam  kate dan ayam hutan yang berwarna putih. Mereka tak pernah akur, dan saling memamerkan suara kokokkannya masing-masing. 

Mereka berebut untuk memperlihatkan suara yang paling merdu dan menarik minat para ayam yang lainnya. Suara yang indah itu tentu saja selalu dapat membangunkankan ayam lain untuk segera bangun dari lelap tidurnya.

 

“Suaraku lebih bagus dan paling merdu!” ucap ayam kate dengan sombongnya.

 

“Jangan senang dululah! Suaraku juga merdu dan indah!” sahut ayam hutan itu, tak mau kalah.

 

Mereka kembali mengeluarkan suaranya. Nyanyian mereka terdengar nyaring. Mereka saling bergatian memamerkan suara merdunya. Tiba-tiba datanglah seekor ayam yang sudah berusia sangat tua.  Dia bermaksud memisahkan pertengkaran di antara mereka.

 

“Sudahlah kawan-kawan! Kalian jangan pamer terus, bikin pusing 7 keliling kepalaku. Bagaimana jika kita mengadakan sebuah lomba, kalau yang paling keren dan merdu, dialah pemenangnya. Nanti semua ayam di sini yang berjumlah sekitar 20 ayam, akan memilih siapa yang paling hebat!” usul ayam yang paling tua umurnya itu.


Usulnya itu akhirnya disetujui. Pada hari itu juga, diadakanlah perlombaan untuk menetukan siapa yang paling merdu suaranya.

 

“Kukuruyuuuk.... kukuuruyuuuk!!”

 

Terdegar suara kokokkan merdu itu. Semua teman yang hadir di halaman itu, bersorak riuh rendah. Kawanan ayam dari beraneka ras, menyaksikan jalannya lomba. Bahkan ada pula para ayam yang masih kecil antusias menonton lomba yang sangat meriah itu. Semua pasang mata dan telinga. 

 

Beberapa saat kemudian, tibalah untuk menentukan suara yang terhebat. Semua penonton yang datang, memberikan pilihannya. Akhirnya, setelah dihitung, ternyata ayam hutan itu, yang paling banyak memperoleh dukungan. Maka otomatis dia menjadi pemenangnya.

 

Pada esok harinya, ayam hutan itu, sering dipuji banyak kawannya. Tiada henti-henti, semua ayam selalu menyanjungnya. Setiap hari, para ayam yang lainnya selalu memberikan makanan untuk dipersembahkan kepadanya. Mereka mencarikan makanan berupa cacing-cacing kecil, serangga-serangga kecil, dan buah-buahan hijau. Dari ayam yang berumur masih kecil hingga ayam dewasa, semua berebut ikut memberi makanan kepadanya. Ada yang mencari cacing di dalam tanah, ada pula yang mencari buah-buahan di dalam hutan tak jauh dari tempat itu.

 

Ayam hutan itu tersenyum memamerkan merdu suaranya. Bahkan tiap jam atau tiap menit, dia mengeluarkan suara kokokkannya. Tetapi setelah seminggu, suaranya mulai sumbang, tak semerdu seperti biasanya. 

 

“Kukuuru...uhuk..uhukk...uhuk…,”

 

Terdengar suaranya yang mirip dengan ayam yang sedang batuk-batuk. Maka banyak ayam lainnya tidak mau lagi mendengar suaranya. Semua kawan terlihat menjauhinya. Dia pun kecewa dan sedih. Dia berlari meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, dia bertemu dengan si Tupai.

 

“Kenapa kau kelihatan sedih, kawan?” tanya si Tupai sembari meloncat ke atas ranting pohon di sekitar tempat itu.

“Aku tak mampu mengeluarkan suara yang merdu lagi. Semua teman menjauhiku!” Ayam hutan itu sedih sambil menundukkan kepalanya.

 

“Kau pasti terlalu sering pamer suara kokokkanmu! Sehingga lama-lama hilang suara merdumu itu!” kata si Tupai tersenyum ramah.

 

“Benar juga perkataanmu, lantas apa yang harus kulakukan?” tanya Ayam hutan.

 

“Begini saja, mulai sekarang kau jangan kebanyakan mengeluarkan suaramu, jika ingin mengeluarkan suara kokokkanmu yang sewajarlah. Jangan terlalu berlebihan. Ini ada jahe, kau makanlah!” ucap si Tupai sambil memberikan jahe kepadanya.

 

Kemudian dia langsung memakan jahe itu. Dia berjanji tidak akan memamerkan suaranya secara berlebihan.

 

Sementara itu, di tempat lain, terlihat ayam kate, yang dinobatkan menjadi pengganti juara yang sebelumnya juaranya adalah Ayam hutan. Semua ayam lainnya menobatkan ayam Kate, untuk menjadi juara mengalahkan ayam hutan, yang kini suaranya tak merdu lagi. 

 

“Haha! Kini akulah sang juaranya!” seru ayam Kate dengan angkuhnya.

 

Hampir tiap hari, semua ayam menyanjungnya. Mereka dengan senang hati, mencari cacing dan buah-buahan untuk dipersembahkan kepadanya. Semuanya tak bosan memuji dan memberikan makanan kepadanya.

 

Pada minggu berikutnya,  Ayam hutan itu datang ke sana. Dia menghampiri ayam kate, yang masih saja pamer suara dengan sombongnya.

 

“Hai apa kabar?” sapa ayam hutan itu.

“Huh! Tak usahlah bermanis-manis kata! Aku ini sang juara, sedangkan kamu hanya pecundang!” seru Ayam Kate menyombongkan diri.

 

“Apakah aku boleh tinggal di sini seperti dulu lagi?” tanya ayam hutan itu ragu-ragu.

 

“Hmmm, boleh saja. Namun ada syaratnya,” ujar ayam Kate.

 

“Syaratnya apa, kawan?” ayam hutan itu kembali bertanya karena penasaran.

 

“Kita adakan lomba lagi! Jika kau bisa mengalahkan suara merduku, maka kau bisa tinggal di sini selamanya!” sahut ayam Kate, masih dengan congkaknya.

 

“Baiklah, terima kasih kawan!” kata ayam hutan itu tersenyum.

 

Kemudian esok harinya, diselenggarakan lagi perlombaan untuk menentukan siapa yang paling indah suaranya. Semua ayam dikumpulkan. Bahkan ada beberapa kelinci putih dan burung merpati biru yang hadir menyaksikan lomba itu. Si Tupai juga ikut hadir menyaksikan perlombaan seru itu.

 

“Kukuruyukk...kukuruyuuukk!”

 

Terdengar suara ayam Kate, dengan merdunya. Semuanya bertepuk tangan. Dan kini tiba saatnya untuk ayam hutan itu, yang akan mengeluarkan suara kokokkannya.

 

“Kukuuruyuuuk...kukuruuyuuukkk!”

 

Ternyata suara dari ayam hutan itu, terdengar sangatlah merdu. Hal itu disebabkan karena beberapa minggu lalu dia rajin memakan jahe yang diberikan si Tupai.

 

Semuanya pun bersorak sorai penuh kegembiraan. Suara indah yang dikeluarkan ayam hutan itu, mampu membuat semuanya terhanyut dan terlena dengan kemerduannya. Mereka terpukau dan takjub mendengar suaranya. Maka dapat dipastikan, ayam hutan itu yang kini menjadi juara.

 

“Aku tak percaya suaramu berubah menjadi bagus seperti itu! Tapi akulah yang terhebat! Aku takkan mengakui kau sebagai juara!” ayam Kate itu tampak kesal.

 

“Wahai kawan, sebaiknya kita sering makan jahe, nanti aku yakin suaramu kembali merdu,” kata ayam hutan itu dengan ramah. 

 

Ayam Kate lalu pergi dari tempat itu. Secara diam-diam si Tupai mengikutinya. Hingga saat di tengah hutan, mereka berhenti.

 

“Tunggu!” teriak si Tupai.

“Ada apa?” ucap ayam Kate itu tampak tak bersemangat lagi.

 

“Jangan sedih! Aku masih meyakini suaramu juga merdu!” sahut si Tupai.

 

“Benarkah?” ayam Kate itu tampak heran.

“Betul kawanku, seperti perkataan ayam hutan itu, kamu harus rajin mengkonsumsi jahe, bila perlu ditambah kencur dan bawang putih!” ucap Tupai sambil tersenyum.

 

“Boleh juga saranmu!” ayam Kate itu masih saja bersikap sombong.

“Apakah kamu mau bertemu dengan ayam lainnya, yang mirip denganmu, tapi suaranya juga merdu sepertimu!” kata Tupai.

 

“Mana ada yang lebih keren dan mirip denganku!” ayam Kate itu menyangsikan ucapannya.

 

“Cobalah kau pergi menuju ke arah timur, sekitar 2 kilometer dari sini, apakah kau berani menghadapinya?” ucap si Tupai memberi tantangan padanya.

“Siapa takut!” sahut ayam Kate itu percaya diri.

Maka dengan langkah sombongnya, dia terus saja bernyanyi ceria. Dia tak tahu, jika si Tupai kemarin sudah meletakkan sebuah cermin berukuran cukup besar di hutan sebelah timur seperti yang tadi diucapkannya.

 

“Semoga saja dia akan menyadari kesombongannya,” gumam si Tupai.

Sementara itu, ayam Kate kini telah sampai di tempat tujuan sesuai perkataan dari si Tupai. Namun wajahnya kaget dan terkejut bukan main saat melihat cermin yang sangat besar. Di dalam cermin itu, terlihat sosok ayam yang sangat mirip dengannya. Dia terheran-heran.

 

“Hei! Siapa kau? Beraninya menyerupai wajahku ini!” ucapnya kesal.

 

Namun tak ada jawaban yang terdengar. Sosok ayam yang mirip dengannya masih tak mengeluarkan suara. Berkali-kali dia bertanya, namun tak ada jawaban dari dalam cermin itu. Karena marahnya, dia lalu melompat menubruk cermin besar itu. Maka dipastikan cermin itu pecah berantakan menimpa tubuhnya. Dia jatuh tersungkur di rerumputan bersama puing-puing kaca yang menimpanya.

 

“Aduhh! Sakit!” ayam Kate itu mengaduh kesakitan.

 

Tiba-tiba muncullah si Tupai di tempat itu.

“kau baik-baik saja?” ucap si Tupai sambil menolongnya.

 

Ayam Kate itu hanya terdiam menahan sakit. Lalu si Tupai memberikan obat yang diraciknya sendiri. Tupai itu memang pintar untuk meracik dan meramu obat-obatan dari bahan dedaunan hijau.

 

“Nanti kau pasti segera sembuh,” kata Tupai.

 

“Terima kasih kau sudah mau menolongku,” ucap ayam Kate.

 

Sejak saat itu ayam Kate berubah menjadi sosok ayam yang baik. Dia juga meminta maaf kepada ayam hutan itu, karena dulu sering menghinanya. Akhirnya mereka menjadi kawan sahabat sejati, yang selalu tolong-menolong.

 

 

Penulis : Anton Sucipto, SP. 

Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto. 

Tulisannya pernah dimuat oleh koran Kedaulatan Rakyat, koran Suara Merdeka, Solopos, Merapi, Kompas klasika Nusantara Bertutur, Radar Bromo, Majalah Utusan, Majalah Panjebar Semangat, Majalah Target, Jelata.co, Marewai.com,  Golagongkreatif.com, Becik.id, Bangka pos.

 

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar