Pages

Selembar Foto Usang



Oleh Muhamad Yusuf


Mentari pagi baru menyapu langit Banjarmasin saat Ibnu membuka pintu rumahUdara masih sejuk dan suara kokok ayam terdengar sayup-sayup dari seberang sungaiDengan semangatia langsung menuju warung kecil milik ibunya di depan rumah.

"Susun piringnya di rak yaNak," kata ibu sambil menuang air penas ke termos.

"Iya, Bu," sahut Ibnu dengan senyum.

Setiap pagiIbnu selalu membantu ibunya membuka warungIa menyapu lantaimenyiapkan mejadan mengangkat panci-panci besar berisi lauk pauk yang harum menggodaIaanak yang rajin dan tak pernah mengeluh.

Namun pagi minggu itu sedikit berbedaSaat ibunya pulang ke rumah sebentar untuk mengambil stok nasi tambahanIbnu melihat seorang lelaki tua berdiri ragu-ragu di dekat warungPakaiannya lusuhcelananya beleldan tangannya memegang ransel kecilWajahnya tampak kelelahan dan kurang bersemangat.

Ibnu memperhatikannya sejenak. Orang-orang yang lewat seolah tak melihat lelaki tua ituHati kecil Ibnu tergerak.

"Pak... Bapak mau sarapan?" tanya Ibnu mendekat.

Lelaki tua itu menoleh pelanmatanya keruh tapi ramah. "BolehNakKalau tidak merepotkan."

"Tidak, Pak. Mari duduk di siniSaya ambilkan nasi kuningdan telur bumbu karihya?"

Wajah lelaki tua itu berseriIa duduk perlahan di bangku plastikdan Ibnu segera menyajikan makanan.

Selama makanlelaki tua itu tak banyak bicaraHanya senyum kecil dan sesekali gumam syukur yang keluar dari bibirnyaSetelah piringnya kosongia bangkit dengan hati-hati dan merogoh saku dalam bajunya.

"Terima kasihNak... Kamu baik sekali." Ia mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah kusam dan menguning. "MohonsimpanlahIni foto anak saya dulu."

Ibnu menerima foto itu dengan bingung. Di foto itu tampak seorang anak laki-laki mengenakan seragam sekolah dasar dan tersenyum lebarIbnu memperkirakania berusia sekitar sepuluh tahunseumuran dengannya.

"Namanya Burhan. Kalau kamu pernah dengarkabari saya ya," ucap lelaki tua ituSebelum pergiia menuliskan sesuatu di secarik kertas dan menyerahkannya. "Ini alamat tempat saya tinggal sekarangKalau suatu saat kamu tahu di mana Burhan, tolong beritahu dia."

Ibnu mengangguk pelan dan menyimpan kertas itu.

Tak lama kemudianibunya kembali sambil membawa keranjang nasi.

"Bu,  baru saja ada seorang kakek ke siniPakaiannya kotortapi ramahAku beri makan. Terus ia kasih aku ini," kata Ibnu sambil menunjukkan foto.

Ibunya mendekat dan menatap foto itu lama.

"Ya Allah. Ini Burhan!" kata ibu pelandengan mata berkaca-kaca. "Teman kecil Ibu duluKami sering main di bawah pohon rambutan dekat balai desa dan mandi bersama-sama di sungaiKakek yang datang tadi itu pasti Pak Muad, ayah Burhan. Dulu beliau lurah di kampung kita ini."

Ibnu terkejut. "LurahTapi kenapa sekarang seperti itu, Bu?"

Ibu menghela napas. "Waktu Burhan kelas enamibunya meninggal dunia. Burhan diasuh oleh adik ibunya, di MartapuraSedangkan ayahnya menikah lagi dan pindah ke kota. Lama ibu tak dengar kabar merekaKatanya Burhan jadi orang penting sekarangTapiIbu juga tak tahu kenapa Pak Muad hidup sepertiini sekarang."

Ibnu memandangi kembali foto kecil itu. "Ibubolehkah aku mencoba mencari Pak Burhan?"

Ibunya tersenyum. "Kalau kamu mauIbu dukung."

Hari-hari berikutnyaIbnu mencari informasi tentang Burhan. Ia bertanya kepada guru, tetanggabahkan mencarinformasi lewat media sosial. Hingga akhirnyaia menemukan sebuah artikel tentang Burhan yang kini menjadi salah satu pejabat tinggi di pemerintahan.

Dengan bantuan gurunyaIbnu menulis surat dan menyertakan foto serta alamat yang diberikan Pak Muad.

Seminggu kemudiansebuah mobil dinas berhenti di depan warung kecil IbnuSeorang lelaki gagah dengan jas rapi turun dari mobilWajahnya matangtapi senyumnya hangat.

"Ibu Marni?" tanyanya. "Saya Burhan. Teman masa kecil Ibu."

Ibunya menutup mulutterharu. "Pak Burhan. Sungguh tak disangka kita bisa bertemu lagi!"

Burhan tersenyum bahagiaMatanya berkaca-kaca. "Terimakasih, Bu. Terima kasihNak IbnuBerkat bantuan kamusaya bisa menemukan ayah. Saya pergi ke alamat yang kamu berikanDi sanalahsaya bertemu beliau setelah lama terpisah dengannya."

Ibnu tersenyumTanpa diduga, Pak Burhan memeluk Ibnu penuh haru.

Hari ituwarung kecil mereka dipenuhi kehangatan dan senyum. Dari sebuah piring nasi kuningsecarik alamatdan foto usangsebuah keluarga yang lama terpisah akhirnya bisa bersatu kembali.

Ibnubersekolah yang rajin yaInsya Allah, saya akan membantu biaya pendidikanmu sampai lulus kuliah,” ungkap Pak Burhan terdengar tulus.

Mendengar penuturan Pak Burhan itu,  ibu langsung 



menangis sejadi-jadinyaIa Lalu memeluk Ibnu  dengan erat.  

***

Tentang Penulis:

Muhamad Yusuf, S.PdPengajar Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Banjarmasin. No HP: 081649411315.

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar