Pages

PADAMNYA LENTERA



Oleh  Cut Putri Monica Weta

Siang hari sepi aku duduk memangku sebuah notebook dan sebuah pulpen. Aku bingung mau berbuat apa??? Menulis puisikah atau menulis sebuah cerpen. Ku hela nafas panjang dan sedikit mengenang masa kecilku. Dalam keluarga papa dan mama. Aku cucu pertama sehingga kasih sayang, perhatian semua tercurah hanya untukku. Aku hidup dalam kebahagiaan dan berkecukupan. Sejenak aku terbawa dalam kenangan lama, aku terhenyak dari lamunan seketika saat adikku datang mengagetkanku. “Ha, apa tuch tulis surat cinta ya, nanti adek bilang sama mama” ledek adikku. Tanpa menjawab aku abaikan ucapan adikku.
Kembali kuraih pulpen dan buku yang terlepas dari tangan dan pangkuanku. Aku berpikir menulis tentang perjalanan kehidupan keluargaku. Memang aku masih terlalu kecil untuk menulis semua cerita tentang keluargaku, karena dalam cerita ini terjadi berbagai macam peristiwa yang sampai kini membekas dalam benak ku.
Dalam keluarga kami ada empat hamba Allah, papa, mama, aku dan adikku. Keluarga kami hidup bahagia dan sejahtera. Namun suatu hari tiba-tiba kabut hitam menyelimuti keluarga kami. Mamaku kena tipu dan uang dengan jumlah besar harus ditanggung oleh mamaku, padahal mama tidak pernah menggunakannya hingga karena peristiwa ini papaku pergi dari rumah meninggalkan kami. Papa berpikir mama salah, tapi aku tahu siapa mama dan aku yakin mamaku terjebak tipuan.
Sejak kepergian papa, suasana rumah mulai berbeda. Tidak ada lagi tawa dan canda di ruang TV. Mamapun tampak sangat gundah. Namun mama tidak pernah menampakkan kesusahan di hadapan kami, walaupun papa tidak ada mama tetap memenuhi kebutuhan kami dan mama tetap menyempatkan diri untuk membawa kami jalan-jalan setiap minggu sore. Sungguh mamaku sosok perempuan tangguh yang tidak mengenal lelah.
Padahal aku tahu setiap tengah malam mama selalu menangis dalam tahajudnya. Mama selalu berdoa agar masalah cepat selesai dan kami bisa berkumpul kembali. “Ya Allah, jabbahkanlah doa mama”, hanya ini pintaku. Mamaku seorang guru yang kena tipu harus menanggung beban orang yang tidak bertanggung jawab.
Ya, mamaku seorang guru yang menjadi teladan hidupku, tanpa rasa malu sejak kepergian papa, mamaku mengabaikan profesi dan titelnya hanya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupku dan adikku dengan menjadi seorang pencari pupuk kandang (kotoran kerbau) di sepanjang jalan yang kemudian dijual ke setiap rumah dengan harga tiga karung Rp. 25.000,- Subhanallah, perjuangan mamaku. Mungkin guru lain berbeda dengan mamaku dan berpikir seorang PNS tidak mungkin kekurangan, namun mamaku seorang PNS dengan sisa gaji hanya *** tidak bisa kusebut nominalnya itu karena mamaku ada ambil kredit di bank untuk membeli rumah yang kami tempati.
Aku bangga dengan mamaku tanpa mengagungkan profesi dan titelnya dia menjadi seorang pencari pupuk kandang. Itu dilakukan sepulang dari tugasnya di sekolah.
Pada saat cari pupukpun dia tetap riang. Aku dan adikku selalu dibawa bersama, tidak pernah ada keluhan dari bibirnya terucap. Semangat dan terus berjuang hanya itu yang selalu ditanamkan pada kami. Mamaku punya jadwal yang tersusun rapi. Kami mencari pupuk hanya dari sore Senin sampai sore Sabtu dan targetnyapun harus dapat enam karung perhari, dimana uang yang terkumpul digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan yang paling hebat, walaupun papa tidak bersama kami, tapi kebiasaan bersama papa jalan setiap sore Minggu tetap mama penuhi. Walaupun hanya sekadar makan jagung bakar di pelabuhan. Itu mama lakukan untuk menepis kekosongan sosok papa yang di sisi kami.
Mamaku juga mendukung bakat kami setiap ada perlombaan menggambar, mewarnai, menari dan menulis. Kami selalu ikut, sekalipun dalam hal biaya sering kurang, tapi mama terus berjuang.
Lagi-lagi musibah menimba kami akibat ulah teman papaku, rumah satu-satunya yang kami milikipun harus terjual, bagaikan padamnya lentera. Mamaku shock dan akhirnya harus dirawat, rasa takutku datang takut kehilangan mama. Namun sungguh Allah Maha Kuasa tetap melindungi dan memberi mama nafas kehidupan.
Pada saat mama drop papa datang, namun begitu mama mendingan papa pergi lagi, tampak wajah mama berseri bahagia ketika papa berada di sampingnya sekalipun hanya sesaat. Setelah dokter mengizinkan mama pulang, aku mencoba memberi semangat untuk mama.
Malam hari kami duduk bertiga, mama, aku dan adikku. Aku mencoba memberi ide, “Ma, kayaknya kalau cari pupuk mama capek kali, gimana kalau kita jualan aja???” Mama, “Iya juga ya nak, besok mama tanya kawan mama apa boleh jualan ditempatnya?, kata mamaku”, dan Alhamdulillah doa dan harapan kami kembali dikabulkan Allah. Akhirnya kami berjualan dan tinggal di daerah yang dekat dengan tempat usaha kami. Rasa kagumku bertambah lagi meskipun tempat usaha jauh dari pengajian tidak membuat mama lelah dan lalai, mama tetap mengantar dan menjemput kami. Sungguh mamaku perempuan “super woman”
Hari gerganti bulan berlalu, genap tujuh bulan sudah kami hidup bertiga, suka dan duka kami jalani bersama tak terasa Idul Adha tiba tanpa sosok papa, mama tetap berusaha menyambut Idul Adha dan memenuhi kebiasaan tradisi saat bersama papa. Baju baru, daging, kue tetap mama sediakan. Tepat tengah malam takbir terdengar dalam senyap ku mendengar doa mama kembali, “Ya Allah, ampunilah dosa ku, orang tuaku, suamiku, mertuaku, sanak familiku dan kaum muslimin dan muslimat, lidungilah anak-anakku, jadikan mereka anak yang shaleha serta hamba mohon Ya Allah, jadikanlah keluarga kami berkumpul kembali, Amiin.” Tampak butiran air keluar dari kelopak  matanya dan mama menoleh ke arah tempat tidur, aku pura-pura tertidur pulas. Aku tidak mau mama tau kalau setiap malam aku terbangun saat mama sujud di tengah malam. “Ya Allah, sungguh hamba beruntung punya mama seperti ini”.
Tepat pada bulan November doa mamaku terjabbah, papa pulang dan kami berkumpul kembali, sungguh luar biasa kuasa-Mu Ya Allah karena ketegaran mama kesungguhan sujud malamnya, papa kembali dan akhirnya lentera yang padam hidup kembali. Maha Besar Allah Atas Segalanya.

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar