Pages

Hidup Tanpa Seorang Ayah



Oleh: Siti Ruzkiah
Kelas VI SDN 20 Meulaboh

Namaku Siti, umurku 13 tahun. Aku tinggal bertiga dengan ibu tanpa seorang ayah dan tinggal di pondok yang kecil, yang kami dirikan bersama warga di desa ibu. Desa itu bernama desa Mawar yang terletak di Aceh. Sudah tiga tahun ayah meninggalkan kami. Hidup kami penuh dengan liku-liku. Utang ada di mana-mana dan ibu sering sakit-sakitan. Ibu hanya tukang pencuci pakaian di rumah orang, namun aku bangga memiliki seorang ibu seperti dia.

Karena mungkin tanpa dirinya, aku dan kakakku akan menjadi gelandangan. Ayah pergi bukan berarti ayah meninggal, melainkan ayah pergi setelah berpamitan dengan ibu untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata, terdengar kabar kalau ayah sudah menikah lagi. Ibu sangat kecewa mendengar berita itu, ia merasa dikhianati.

Tak lama setelah itu, aku pamit dengan ibu untuk pergi ke panti asuhan yang bernama SOS. Aku pergi dengan kakakku. Karena aku pikir agar tidak merepotkan ibuku lagi. Dengan berat hati ibu mengizinkannya. Di SOS, kami bersekolah dan belajar hidup mandiri. Banyak pengalaman yang kami dapatkan dari ceria anak-anak lain di SOS.

Kehidupan kami di SOS sangat jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak lain yang hidup nyaman bersama orang tuanya. Namun ibu-ibu pengasuh kami juga sangat baik-baik dan tulus menyayangi kami.

Pagi  aku dan temanku pergi ke sekolah.  Saat ini aku sudah duduk di bangku kelas VI SD. Kakakku sudah kelas 1 SMP. Aku duduk di belakang anak yang sangat sombong, ia membenciku karena aku tinggal di panti asuhan dan miskin. Ia sering sekali mengejek pakaianku yang sering kali lusuh dan berbau. Ia juga mengajak teman yang lain untuk mengejekku. Aku hanya bisa diam dan menerima semua ejekannya.

Lonceng dimulainya jam sekolah pun berbunyi, semua anak berhambur masuk ke ruang kelas. "Pagi anak-anak," ujar bu guru menyapa. "Hari ini kita lanjutkan pelajaran yang kemarin ya," katanya lagi. "Baik bu,".

Bu Masriani yang saat ini mengajar merupakan guru matematika. Aku sangat menyayanginya, ia mengajar dengan ramah dan lembut. Setelah itu bel istirahat pun berbunyi, kami bergegas ke kantin untuk mengisi perut yang mulai keroncongan.

"Sit, kita ke kantin yuk," ajak Yenti. "Siti.. sit,". Duh aku melamun, tak tahu kalau sejak tadi Yenti mengajak ku ke kantin. Setibanya di kantin, aku hanya memesan gorengan seharga 2000. "Aku hanya punya uang segini Yen."

Tiba-tiba, Dita, teman kelasku berteriak seperti akan mengejekku lagi. " Masa ia sih jajan anak jaman sekarang cuma 2000. Kalau aku sih malu jadi seperti Siti," seru Yenti di tengah-tengah kantin sekolah.

Aku sudah kepalang malu, sudah tidak tahu akan berbuat apa lagi, Ya Allah cobaan-cobaan seperti ini kumohon segera kau cabut.

Ejekan terus dilakukan oleh sebagian teman-temanku di kantin. "Sudah Yenti ayo kita pergi saja, aku sudah tidak tahan," kataku sambil menyeka air mata. Tak lama kemudian bel masuk kelas pun berbunyi kembali. Aku kembali belajar, namun tidak begitu konsentrasi, aku masih merasakan kesedihan yang amat dalam. Bel pulang pun berbunyi, tanpa menunggu lama aku berlalu pulang.

Setibanya di panti asuhan, aku mencari kakakku dan memeluknya erat-erat, "Aku sedih sekali kak, mengapa hidup kita bisa seburuk ini. Aku sudah tidak tahan kak," kataku sambil terbata-bata. Aku menangis sejadi-jadinya.

"Sabar dik, sabar, ceritakan kepada kakak apa yang sebenarnya terjadi,"

Setelah ku ceritakan semua kejadian di sekolah, kakakku pun tak mampu menahan air matanya, sambil merangkulku, ia menahan kesedihannya agar aku tidak kembali menangis. "Kita harus sabar dik, itu semua cobaan dari Allah. Jika kita mampu melewatinya, kakak yakin kita akan dinaikkan derajat. Ini semua hanya sementra dik, kita akan buktikan kepada mereka semua bahwa kita akan sukses."

Aku akhirnya paham dengan ucapan kakakku, meski berat, aku akan melaluinya bersama kakakku. Aku akan membuktikan bahwa keterbatasanku saat ini tidak akan menghambat keberhasilanku.

Waktu berlalu dengan cepat, hampir setiap hari aku mengalami ejekan-ejekan. Namun sudah tidak ku hiraukan lagi. Aku hanya fokus belajar dan belajar, waktu yang tadinya kuhabiskan di kantin, kini kuhabiskan di perpustakaan.

Akhirnya aku mendapatkan nilai terbaik. Aku mendapatkan peringkat pertama. Mereka yang tadinya mengejekku merasa heran ketika kepala sekolah memberikan ku hadiah dan piala di depan seluruh anak-anak SD yang lain. Aku lalu memberikan kabar bahagia ini kepada ibuku. Ia sangat bahagia, air mata bahagianya membasahi jilbabku, sambil ia memelukku ia berbisik agar aku terus giat belajar dan jadilah anak yang baik budi pekertinya.

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar