Pages

Pemimpin yang Tidak Bijaksana




Oleh Wiji Lestari

Kepala SMK Musa Cepu

Di sebuah negeri kecil yang subur dan damai bernama Alaya, masyarakat hidup rukun dalam keberagaman. Negeri itu memiliki hutan yang hijau, sungai yang jernih, dan hasil bumi yang melimpah. Namun, kehidupan masyarakat Alaya mulai berubah ketika pemimpin baru terpilih: Tuan Agra.

Tuan Agra dikenal sebagai tokoh yang pandai berbicara. Ia sering mengatakan bahwa ia ingin membawa kemajuan dan kemakmuran bagi rakyat. Namun, perlahan-lahan rakyat mulai melihat sisi lain dari kepemimpinannya. 

***

Setelah menjabat, Tuan Agra membentuk kelompok penasihat yang seluruhnya terdiri dari teman-temannya sendiri—orang-orang yang satu pandangan dengannya dan berasal dari wilayah yang sama. Keputusan-keputusan penting seperti pembangunan jalan, alokasi dana pendidikan, dan distribusi bantuan pangan, semuanya diprioritaskan untuk wilayah tempat para pendukungnya tinggal.

Desa-desa lain yang berbeda pilihan politik dan tidak sejalan dengan kelompok Tuan Agra, perlahan-lahan terpinggirkan. Sekolah-sekolah di sana rusak dan tidak diperbaiki. Puskesmas kekurangan tenaga medis. Bahkan akses air bersih pun menjadi masalah.

“Apakah ini yang disebut pemimpin untuk semua?” tanya Pak Lurah Seno, pemimpin Desa Rahayu yang mengalami ketimpangan pembangunan.

***

Salah satu proyek besar Tuan Agra adalah membuka lahan pertambangan emas di wilayah hutan adat. Proyek itu katanya akan memberikan “manfaat besar” bagi ekonomi. Namun kenyataannya, proyek itu justru merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang tinggal di sana selama ratusan tahun.

Hutan dibabat, sungai tercemar, dan satwa langka kehilangan habitatnya. Warga yang protes dituduh sebagai “penghambat pembangunan.” Anak-anak tidak lagi bisa bermain di sungai, dan tanah yang dulunya subur tak lagi bisa ditanami.

Dalam sebuah diskusi pelajar di kota Alaya, seorang siswa bernama Mita mengangkat tangan dan bertanya,

“Jika pembangunan menghancurkan kehidupan banyak orang dan makhluk lain, apakah itu masih bisa disebut kemajuan?”

Pertanyaan itu membuat banyak orang dewasa terdiam.

***

Dalam teori kepemimpinan modern, seorang pemimpin seharusnya berlaku adil dan mengutamakan kepentingan umum di atas golongan. Ilmuwan sosial Max Weber menjelaskan bahwa pemimpin ideal adalah mereka yang memiliki etos tanggung jawab, bukan etos kekuasaan. Artinya, keputusan yang diambil harus didasarkan pada manfaat jangka panjang dan keadilan sosial.

Sayangnya, Tuan Agra lebih tertarik memperkuat kekuasaan. Ia membangun istana mewah untuk dirinya dan kelompoknya, sementara harga kebutuhan pokok naik dan anggaran kesehatan dipangkas. Banyak orang mulai kehilangan kepercayaan.

“Negeri ini bukan milik satu kelompok saja,” kata Bu Intan, guru sejarah yang prihatin. “Jika pemimpin hanya berpikir tentang kelompoknya sendiri, maka negeri ini akan terpecah dan lemah.”

***

Rakyat Alaya tak tinggal diam. Mahasiswa, guru, petani, dan tokoh adat mulai menyuarakan keprihatinan. Mereka membentuk gerakan Alaya Bersatu, yang menyebarkan edukasi tentang pentingnya pemimpin yang adil, transparan, dan berpihak pada semua, bukan hanya kelompok tertentu.

Anak-anak belajar kembali nilai-nilai dasar kepemimpinan: kejujuran, keberanian, empati, dan tanggung jawab. Sekolah-sekolah mengadakan lomba karya tulis bertema “Pemimpin Idamanku”, dan hasilnya sungguh menyentuh.

Salah satu kutipan dari tulisan murid bernama Rafi berbunyi:

> “Pemimpin itu seperti akar pohon. Ia tidak terlihat, tapi menopang semua bagian pohon agar bisa tumbuh dan memberi buah. Jika akarnya hanya menumbuhkan cabang tertentu, pohon itu akan miring dan tumbang.”

****

Gerakan rakyat terus tumbuh. Mereka menyuarakan aspirasi secara damai, menggunakan data dan fakta untuk menunjukkan ketimpangan yang terjadi. Tekanan moral dan sosial akhirnya membuat lembaga pengawas turun tangan. Investigasi dilakukan, dan beberapa proyek Tuan Agra dinyatakan melanggar prinsip tata kelola yang baik.

Pemilihan umum berikutnya menjadi momentum perubahan. Rakyat tidak lagi terbuai oleh janji manis, melainkan memilih berdasarkan rekam jejak, integritas, dan visi pemimpin. Tuan Agra pun digantikan oleh pemimpin baru yang berkomitmen untuk membangun negeri bersama rakyat, bukan untuk segelintir kelompok.

***

Cerita ini bukan hanya tentang Tuan Agra. Ini adalah cermin bagi kita semua—bahwa kepemimpinan adalah amanah besar. Seorang pemimpin tidak boleh hanya memikirkan dirinya atau kelompoknya, melainkan seluruh rakyat yang dipimpinnya. Dalam ilmu politik dan etika publik, pemimpin sejati adalah mereka yang berani bersikap adil, meski itu tidak populer di kalangan dekatnya.

Pemimpin yang bijaksana bukan yang paling kuat, tapi yang paling mampu melayani.

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar