Oleh Rika Puji Lestari
Anggota Satupena Kab. Blora
Rara adalah seorang anak berusia tujuh tahun yang sangat menyukai permen. Ia gemar membaca buku tentang rasa-rasa manis dan cara membuat gula-gula warna-warni.
Setiap malam sebelum tidur, Rara selalu membayangkan dunia yang seluruhnya terbuat dari permen. Ia percaya, dengan cukup mimpi, segala yang dibayangkan bisa menjadi nyata.
Suatu malam, setelah memakan satu lolipop besar, Rara tertidur sambil memeluk bantal bergambar permen. Ketika ia membuka mata, ia terkejut melihat dirinya berada di tempat yang sangat berbeda.
Langit di atasnya berwarna merah muda seperti kapas manis, dan tanah tempat ia berdiri terasa kenyal seperti marshmallow. Pohon-pohon di sekitarnya tampak seperti tongkat permen dan cokelat cair mengalir di sungai.
Rara melangkah perlahan, mencicipi udara yang terasa manis seperti vanila. “Apakah ini mimpi atau dunia sungguhan?” tanyanya sambil tersenyum penuh takjub.
Tiba-tiba, seekor kelinci mungil berwarna karamel muncul dari balik semak permen jelly. “Selamat datang di Negeri Permen!” sapa kelinci itu dengan ramah.
Rara terpana mendengar kelinci bisa bicara. Berdasarkan pengetahuan dasar biologi, kelinci di dunia nyata tidak memiliki sistem vokal untuk berbicara seperti manusia.
Namun, di dunia mimpi, hukum ilmiah bisa menjadi lentur. Hal ini menunjukkan bagaimana imajinasi mampu menyalurkan pemahaman baru melalui fantasi yang menyenangkan.
Kelinci memperkenalkan dirinya sebagai Kiko, penjaga rasa manis di negeri itu. Ia mengatakan bahwa negeri permen menghadapi masalah besar: rasa permen mulai hilang.
“Rasa manis yang kami miliki berasal dari bintang gula di langit,” jelas Kiko. “Tapi beberapa hari terakhir, bintang itu redup dan pudar.”
Secara ilmiah, cahaya bintang dapat dihubungkan dengan energi dan panas. Dalam konteks cerita ini, rasa manis bersumber dari cahaya simbolis, yaitu keceriaan dan kebaikan.
Rara menawarkan bantuan. Ia sangat tertarik untuk mengetahui bagaimana cara memulihkan rasa manis di negeri ini. “Mari kita cari bintang gula itu,” kata Rara.
Mereka berjalan melintasi Lembah Licorice, di mana bunga-bunga kapas manis tumbuh berwarna biru terang. Rara mencatat perbedaan tekstur permen dari satu tempat ke tempat lain.
Menurut Kiko, rasa manis menurun sejak penduduk negeri permen mulai bersikap egois dan tidak saling berbagi. Hal ini mengilustrasikan bagaimana emosi bisa memengaruhi suasana sebuah dunia.
Mereka tiba di Gunung Cokelat, tempat bintang gula terakhir terlihat bersinar. Puncaknya bersalju gula bubuk, dan jalan ke atasnya sangat licin seperti permen karamel yang meleleh.
Rara berpegangan pada batang permen keras sambil mendaki perlahan. Ia mengamati bahwa iklim negeri ini sangat stabil, tanpa hujan, tapi penuh kelembapan rasa.
Di puncak gunung, mereka menemukan bintang gula yang hampir padam. Kiko berkata, “Hanya tawa dan kebaikan hati yang bisa menyalakannya kembali.”
Rara mengingat cerita neneknya bahwa tawa adalah bentuk energi positif yang bisa menyebar seperti gelombang suara. Ia mulai tertawa dan bernyanyi lagu ceria bersama Kiko.
Bintang gula perlahan mulai bersinar lagi. Warna-warna terang memancar dan udara menjadi lebih harum. Negeri permen kembali berseri dan rasa manis mengalir ke seluruh negeri.
Kiko tersenyum dan berkata, “Kau menyelamatkan negeri ini, Rara. Kini rasa permen kembali karena ada yang peduli dan mau berbagi kebahagiaan.”
Saat itu, angin lembut bertiup membawa Rara kembali ke tempat tidurnya. Ia membuka mata dan mendapati lolipop di tangannya telah meleleh.
Rara tersenyum kecil dan berkata pelan, “Ternyata rasa manis itu bukan cuma soal gula, tapi soal hati yang baik dan suka berbagi.”
Dari hari itu, Rara menjadi anak yang lebih ceria dan suka menolong teman-temannya. Ia percaya bahwa kebahagiaan bisa seperti permen: manis jika dibagi bersama.
Melalui mimpi itu, Rara belajar bahwa ilmu dan imajinasi bisa berjalan beriringan. Bahkan dunia yang tampak mustahil bisa jadi tempat belajar yang menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar