Pages

Bakso






Oleh Anton Sucipto, SP


Minggu pagi yang cerah berawan, Pipit tampaknya sedang duduk di teras halaman rumahnya. Dia memegang sebuah boneka barbie kesayangannya. Hobinya memang suka bermain boneka. Selain boneka barbie berwarna pink dan berambut pirang, dia juga menyukai boneka frozen yang berwarna keunguan yang berkilau terang. 

Tiba-tiba terdengar suara penjual bakso yang kebetulan lewat di depan rumahnya.

 

“Bakso…, bakso!” 

Suara itu berasal dari tukang bakso, yang menjual bakso dengan gerobak yang didorongnya, berkeliling di tempat itu.

Pipit segera bangkit berdiri. Dia tampak bergegas menuju ke depan gerbang rumah. Kebetulan belum sarapan pagi, sehingga dia bermaksud membeli bakso sebagai menu sarapan di pagi ini.

 

“Tunggu! Aku mau beli bakso!” kata Pipit dari balik pagar rumahnya. 

 

Kemudian tukang bakso menghentikan gerobak dorongnya, yang penuh dengan masakan bakso dan peralatan lainnya. Cuaca mulai terik oleh sinar matahari.  

 

“Mau beli bakso, ya,” sahut tukang bakso itu.

 

“Sudah tahu nanya!” jawab Pipit kesal.

 

“Jangan suka marah, nanti bisa-bisa cepat tua, hihi,” celutuk si Tukang bakso itu.

 

“Huh! jangan suka bercanda, deh!” Pipit kali ini tampak semakin kesal saja.

 

“Jadi beli tidak?” kembali tukang bakso itu bertanya.

 

“Beli 1 mangkuk saja! Jangan lupa pakai sambal dan saos kecapnya!” sahut Pipit.

 

“Asiapp!” jawab tukang bakso.

 

Pipit menoleh ke kiri dan ke kanan. Seolah-olah ingin mengamati keadaan di sekitar rumahnya. Dia takut jika ketahuan ibunya. Wajahnya berseri-seri, karena ibunya tak mengetahui jika dia beli bakso tanpa minta ijin dahulu pada ibunya.

 

“Kok lama amat,” seru Pipit mulai kesal lagi.

 

“Sabar, dong. Ada pepatah yang mengatakan jika orang sabar itu disayang Tuhan,” timpal tukang bakso yang fokus meracik bumbu-bumbu masakan bakso.

 

“Sabar, sabar!” Pipit kesal.

 

“Kalau beli, harus ada uang! Ini tak gratis lho!” kata tukang bakso.

 

“Huh! Tenang sajalah! Aku banyak uang, kemarin nenekku memberi uang lebih karena aku ulang tahun!” sahut Pipit dengan sombongnya.

 

“Ya deh, tapi harganya naik hari ini. Minggu lalu hanya 5 ribu, tapi minggu ini harganya jadi 10 ribu!” jawab tukang bakso itu berbohong.

 

“Kok naiknya banyak juga, tapi jangan cemas, uangku masih ada kok!” Pipit mengambil beberapa lembar uang kertas dan recehan di balik saku bajunya.

Dengan santai, Pipit menghitung uang yang sudah digenggamnya. Raut mukanya kembali berbinar cerah.

 

“Kenapa,  apakah uangnya tak cukup?” tanya tukang bakso sambil ketawa.

 

“Ini uangnya!” kata Pipit sembari meletakkan uang-uang, yang dihitungnya di atas piring kosong di gerobak bakso itu.

 

Kemudian tukang bakso itu, menghitung uang itu. 

 

“Hmm, kamu memang pintar berhitung!” puji tukang bakso itu.

 

“Siapa dulu! Pipit githu lho!” seru Pipit membanggakan diri.

 

Tukang bakso itu lalu memberikan semangkuk porsi bakso yang telah selesai dimasaknya. 

Pipit duduk di kursi kecil, sambil makan bakso itu. Setelah selesai memakan bakso, dia memberikan mangkuk kepada tukang bakso itu. Pipit segera kembali masuk ke dalam rumahnya. Sementara itu, tukang bakso tampak tersenyum.

 

“Anak kecil itu tertipu juga! Dia tak sadar jika aku memakai air yang belum matang untuk memasak bakso itu!” kata tukang bakso.

kemudian tukang bakso itu berlalu dari tempat itu. Dia dengan gesit, mendorong gerobaknya. 

 

Pada esok harinya, Pipit merasakan muntah-muntah. Ibunya tampak khawatir melihat anak kesayangannya.

 

“Pipit Kamu kenapa?” tanya Ibunya cemas.

“Aku sakit perut, Bu!” kata Pipit.

 

“Jangan-jangan kamu beli makanan yang tak bersih di luar, ya?” Ibunya kembali bertanya.

 

“Iii...iya, iya, Bu. Maafkan Pipit, Bu,” sahut Pipit tampaknya takut dimarahi ibunya.

 

“Kamu ini, kenapa tak ingat pesan ibu. Kamu harus makan di rumah saja, kalau ingin beli makanan di luar, harus ditemani ibu atau ayah. Jadi kita sudah mengetahui dimana tempat yang bersih, sehat dan selalu menjaga kesehatan. Selalu cuci tangan dan menjaga kebersihan!” ucap Ibunya.

 

"Iya, Bu," jawab Pipit menyesal.

 

Pipit hanya menganggukkan kepala. Dia menyesali perbuatannya karena tidak mengikuti nasihat dan pesan ibunya.

 

“Jangan diulangi lagi ya? Hal terpenting, kamu harus menjaga kebersihan, makan makanan juga yang bersih dan sehat. Nanti Ibu akan membuat ramuan untuk menyembuhkan sakit perutnya. Pasti  kamu segera sembuh, jadi tak perlu khawatir lagi,” tutur ibunya menenangkan Pipit.

 

Pipit kini menyadari pentingnya memakan masakan yang sehat dan bersih. Dia berjanji untuk sering makan sayuran dan buah-buahan. Dia berjanji akan selalu rajin membantu ibunya di rumah. 

 

 

Penulis : Anton Sucipto, SP. 

Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto. 

Tulisannya pernah dimuat oleh koran Kedaulatan Rakyat, koran Suara Merdeka, Solopos, Merapi, Kompas klasika Nusantara Bertutur, Radar Bromo, Majalah Utusan, Majalah Panjebar Semangat, Majalah Target, Jelata.co, Marewai.com,  Golagongkreatif.com, Becik.id, Bangka pos.

 

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar