Oleh Pitrus Puspito
Di sebuah hutan belantara yang selalu diselimuti kabut, hiduplah lelaki Canggung bersama neneknya. Sejak kecil lelaki Canggung suka menyendiri dan membaca buku- buku tua tentang tanaman dan legenda-legenda. Sementara itu, neneknya mahir meracik jamu dan berbagai ramuan obat lainnya.
Karena hobinya itu, lelaki Canggung dan neneknya dituduh sebagai “penyihir” oleh warga desa. Oleh karenanya, empat tahun yang lalu mereka berdua diusir dari desa.
Lelaki Canggung dan Neneknya hidup di sebuah rumah kayu yang sederhana. Lelaki canggung mengolah kebun aneka buah, sayur dan tanaman obat. Mereka juga memelihara ayam untuk diambil telur dan dagingnya.
Pada suatu hari, desa dilanda wabah yang mematikan. Warga desa yang berusia tua pun terjangkit wabah dan meninggal dunia. Tidak hanya orang tua saja, mereka yang bertubuh lemah pun tak sanggup menghadapi wabah ini.
Mendengar kabar kematian setiap hari, membuat Kepala Desa ketakutan. Wabah menyebar dengan cepat.
“Ayah, kita harus ke hutan! Hanya nenek Lelaki Canggung yang bisa menyelamatkan desa dari wabah,” kata Ata, anak kepala desa yang juga sahabat Lelaki Canggung.
“Mereka itu penyihir, Ata! Mereka justru akan memperparah keadaan desa,” jawab sang Kepala Desa dengan marah.
Dua hari berlalu dan kini hampir setengah jumlah penduduk desa meninggal dunia. Wabah juga mulai menjangkiti anak-anak.
Kepala desa yang menyadari keadaan desa semakin memburuk membuatnya semakin panik dan putus asa. Sedangkan Ata diam-diam menyelinap pergi menemui Lelaki Canggung dan neneknya. Dengan cepat, Ata menembus hutan yang penuh rahasia, menuju rumah kayu yang tersembunyi di balik pepohonan besar.
“Nenek! Lelaki Canggung!” Ata memanggil dengan nafas terengah-engah.
Si nenek membuka pintu kayu dengan tatapan penuh kebijaksanaan. “Ata, apa yang kau cari di sini?” tanya Si Nenek sambil mempersilakan Ata masuk ke dalam rumah.
“Wabah mematikan melanda desa kami, Nek! Banyak warga yang meninggal karena wabah itu. Aku yakin, hanya ramuan Nenek yang bisa menyelamatkan desa kami!” Ata bercerita dengan wajah cemas.
Lelaki Canggung menyimak cerita Ata dengan saksama. Ialalu membuka buku tua yang tebal untuk mencari tahu tentang wabah itu. “Penawar wabah itu adalah buah dari tanaman langka yang tumbuh di Danau Terlarang,” kata LelakiCanggung.
“Konon buah langka itu dijaga oleh makhluk purba yang membenci manusia. Tetapi hanya mereka yang berhati tuluslah yang akan mendapatkan buah langka itu,” Si Nenek menambahkan.
Tanpa pikir panjang Lelaki Canggung dan Ata memulai perjalanan mencari buah langka. Mereka berdua harus melewati hutan yang lebat dan rawa-rawa. Akhirnya merekapun sampai di Danau Terlarang.
Ketika mereka tiba di Danau Terlarang, betapa terkejutnya mereka. Di pinggir danau itu ada seekor kera raksasa sedang duduk di atas batu. Tubuhnya dipenuhi bulu-bulu berwarna coklat keemasan dan ia bisa berbicara dengan bahasa manusia.
“Wahai manusia, mengapa kalian mengganggu keheningan tempat ini?” tanya Sang Kera Raksasa dengan suara berat.
Lelaki Canggung dengan hati-hati hanya menunjukkan gambar buah langka yang mereka cari. Ata dengan suara lembut berkata, “Kami membutuhkan buah itu untuk menyembuhkan warga desa yang terkena wabah. Tolonglah kami wahai kera yang baik.”
Sang Kera Raksasa itu tertawa, suaranya menggema seperti guntur, “Hahahaa! Buah langka itu adalah hidupku! Jika kalian mengambilnya, berarti kalian mengambil hidupku.”
Lelaki Canggung yang telah banyak membaca legenda mengetahui kisah Sang Kera Raksasa. “Kami tahu bahwa engkau adalah seorang pangeran, wahai kera.” Kata LelakiCanggung, “Kutukan itu akan berakhir jika ada seseorang yang rendah hati dan jujur mengelus kepalamu.” Sang Kera Raksasa kagum akan pengetahuan Lelaki Canggung.
Ata dengan harapan yang tulus mencoba mengelus kepala kera itu, namun tidak terjadi apa-apa. Kini giliran LelakiCanggung untuk mengelus kepala Sang Kera. Tiba-tiba seluruh bulu yang berkilau itu lenyap dan munculah seorang pangeran tampan.
“Terima kasih Lelaki Canggung! Kutukanku telah terpatahkan. Kau memiliki hati yang suci. Aku berjanji akan menjadi saudaramu,” kata pangeran dengan tulus.
Sang Pangeran kemudian memetik buah langka dan memberikannya kepada Lelaki Canggung. Mereka bertiga kemudian membawa buah itu ke rumah kayu.
Nenek kemudian meracik ramuan dengan terampil, mencampur irisan buah langka dengan ramuan rahasialainnya. Dengan bantuan Lelaki Canggung, akhirnya Nenek selesai meracik ramuan itu dan menuangkannya ke dalam tiga gentong besar.
Hari sudah malam, ketika Ata, Lelaki Canggung dan Pangeran membawa gentong-gentong itu ke desa. Mereka bertiga membagikan ramuan itu kepada seluruh warga desa.
Sesampai di rumahnya, Ata memberikan ramuan kepada ayahnya yang sudah sakit parah akibat wabah. “Maafkan aku Lelaki Canggung,” kata kepala desa penuh penyesalan. “Aku telah salah menilai kalian.”
Warga desa pun sembuh dari wabah.
Kepala desa menawari Lelaki Canggung dan neneknya untuk kembali tinggal di desa. Namun Lelaki Canggung menolaknya dengan santun, “Kami lebih bahagia tinggal di hutan, Pak. Di sana kami bisa hidup dengan tenteram sambil menanam aneka tanaman.”
Akhirnya Kepala Desa dan warga berinisiatif memperbaiki rumah Lelaki Canggung. Mereka juga memberi hadiah berupa perabotan rumah, bibit tanaman dan sepasang sapi untuk Lelaki Canggung dan neneknya.
Sang Pangeran pun tinggal bersama Lelaki Canggung dan neneknya. Sang Pangeran belajar bahwa kebahagiaan sejati ada dalam kesederhanaan dan kasih sayang yang tulus.
Tentang Penulis:
Pitrus Puspito adalah guru bahasa Indonesia dan penelitiindependent di bidang bahasa dan sastra Indonesia. Ia menempuh pendidikan terakhir di Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selain menulis esai dan jurnal ilmiah, ia juga menulis puisi dan cerita anak. Buku yang telah terbit yaknikumpulan puisi berjudul Yang Hilang (2018) diterbitkan oleh Bening Pustaka.
Nama: Pitrus Puspito
Alamat: Jl. Anggur VII, No. 14, Jajar, Laweyan, Surakarta
No Telp: 085643405158
Alamat Email: pitruspiet@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar