Oleh: Bunda Tjut Zakiyah Anshari
Hutan bambu itu tenang. Daun-daun bergoyang lembut ditiup angin. Di sana, seekor elang besar bernama Biru terbang rendah. Sayapnya yang dihiasi garis biru melesat di antara pohon-pohon bambu. Dia berhenti di sebuah cabang, memandang sekeliling.
“Ini rumahku,” pikirnya. “Dan aku penjaganya."
Namun, suara lembut dari jauh mengalihkan perhatian Biru. Suara nyanyian. Indah, merdu, mengalun seperti angin. Itu suara Kiki, si kukang kecil. Kiki sering bernyanyi di tengah bambu. Suaranya selalu menarik perhatian manusia.
“Kiki lagi,” gumam Biru. “Dia selalu jadi pusat perhatian."
Di bawah sana, Nino, si monyet kecil, berayun dari satu bambu ke bambu lain. Ekornya melingkar erat di batang bambu saat dia berhenti.
“Kiki, nyanyikan lagu itu lagi!” seru Nino.
Kiki tersenyum. “Baiklah, tapi hanya satu kali saja ya."
Biru mendengus. “Dia terlalu sering bernyanyi. Mereka lupa siapa yang menjaga hutan ini."
***
Keesokan harinya, suara mesin berat menggema di hutan. Biru membuka matanya. Dia terbang ke arah suara itu. Di sana, sekelompok orang sedang menebang bambu.
“Apa yang mereka lakukan?!” pikir Biru.
Dia menukik ke bawah, mencoba mengusir mereka. Namun, para penebang tidak peduli. Mereka terus memotong bambu dengan gergaji besar.
“Mereka harus dihentikan!” pikir Biru.
***
Di tengah hutan, Kiki sedang duduk di atas dahan. Nino ada di dekatnya, mengunyah buah.
“Kalian dengar suara itu?” tanya Biru saat tiba.
Kiki mengangguk. “Ya. Mereka menebang bambu. Apa yang harus kita lakukan?"
“Kamu harus bernyanyi untuk mereka,” kata Biru dengan nada sinis.
Kiki terkejut. “Bernyanyi? Itu tidak akan menghentikan mereka!"
Nino melompat ke dahan lain. “Kita harus mencari cara lain. Aku bisa menyembunyikan alat-alat mereka!"
“Tidak cukup,” kata Biru tegas. “Kita perlu menghentikan mereka sepenuhnya."
“Bagaimana caranya?” tanya Kiki.
Biru berpikir sejenak. “Kita harus bekerja sama. Aku akan memimpin. Kiki, kau gunakan suaramu untuk memanggil hewan-hewan lain. Nino, kau periksa apa saja yang mereka bawa."
***
Malam itu, Kiki mulai bernyanyi. Suaranya melintasi hutan, memanggil semua hewan. Tupai, kelinci, ular, dan burung-burung kecil datang mendekat.
“Apa yang terjadi, Kiki?” tanya seekor burung pipit.
“Hutan kita dalam bahaya. Manusia sedang menebang bambu,” jawab Kiki.
Di tempat lain, Nino mengintip dari balik semak. Dia melihat manusia membawa gergaji besar dan alat-alat lain. Mereka juga membawa truk besar untuk mengangkut bambu.
“Mereka serius,” pikir Nino.
***
Pagi harinya, Biru memanggil semua hewan di hutan.
“Kita harus melindungi rumah kita,” kata Biru. “Ini rencananya."
Dia membagi tugas. Kiki akan terus bernyanyi untuk menarik perhatian para penebang. Sementara Nino dan yang lain akan membuat jebakan di jalur menuju lokasi penebangan bambu.
“Dan aku?” tanya seekor kelinci kecil.
“Kau bantu membawa daun dan ranting untuk menutupi jebakan,” kata Biru.
***
Para penebang kembali ke hutan. Kali ini, mereka membawa lebih banyak alat. Tapi begitu mereka melangkah, kaki mereka terperosok ke lubang yang ditutup daun.
“Apa ini?!” seru salah satu dari mereka.
Di saat itu, suara Kiki menggema. Para penebang berhenti. Mereka mendengarkan. Suara itu begitu indah, membuat mereka terdiam sejenak.
“Kalian dengar itu?” tanya salah satu dari mereka.
“Ya. Sepertinya suara dari hutan ini,” jawab yang lain.
***
Biru memanfaatkan momen itu. Dia terbang rendah, menyambar topi salah satu penebang dan menjatuhkannya ke sungai.
“Apa itu?!” teriak orang itu.
Hewan-hewan lain mulai bergerak. Tupai melemparkan kacang ke arah mereka. Sementara Nino menarik tali yang membuat dahan bambu jatuh dan menghalangi jalan.
“Kita tidak bisa menebang di sini. Terlalu berbahaya!” seru salah satu penebang.
“Sudah, kita pergi saja!"
Mereka pun pergi, tapi Biru tahu ini belum selesai.
“Mereka akan kembali,” katanya.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Kiki.
Biru berpikir keras. “Kita harus membuat mereka paham bahwa hutan ini penting. Jangan ditebang. Tapi bagaimana?"
Kiki tersenyum. “Aku punya ide. Aku akan bernyanyi di depan penduduk desa."
“Itu terlalu berbahaya!” seru Biru.
“Tapi itu satu-satunya cara,” kata Kiki yakin.
***
Hari berikutnya, Kiki pergi ke desa. Dia mulai bernyanyi di tengah lapangan. Orang-orang mulai berkumpul. Mereka terpesona oleh suaranya.
“Kau dengar itu? Itu seperti cerita nenek moyang kita tentang hutan bambu yang hidup,” kata seorang penduduk.
Kiki melanjutkan nyanyiannya. Lagu itu bercerita tentang betapa pentingnya bambu bagi kehidupan. Bambu sang penjaga air.
Biru dan Nino mengawasi dari jauh.
“Lihat! Mereka mulai memahami,” bisik Nino.
***
Akhirnya, kepala desa mendekati Kiki.
“Apa maksud dari nyanyianmu?” tanyanya.
Kiki menjelaskan, “Hutan bambu adalah rumah kami. Jika kalian menebangnya, kami akan kehilangan tempat tinggal."
Penduduk desa mulai merasa bersalah. Mereka memutuskan untuk menghentikan penebangan dan menjaga hutan bambu bersama.
***
Biru tersenyum melihat semuanya berakhir baik.
“Kiki, aku salah. Suaramu ternyata sangat berharga dari yang kupikirkan,” katanya.
Kiki tertawa kecil. “Dan aku tahu, tanpa kepemimpinanmu, kita tidak akan berhasil."
Nino melompat ke antara mereka. “Hei, jangan lupakan aku! Aku yang buat jebakan itu!"
Mereka bertiga tertawa bersama. Hutan bambu kembali tenang, dan legenda tentang persahabatan mereka mulai menyebar di antara manusia dan hewan.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar