Pages

PENYESALAN YANG BELUM TERLAMBAT





Oleh: Syarifah Aqilah

 

 

“Tania, bekalmu, Kamu yang siapkan sendiri ya. Ibu mau pergi ke luar rumah sebentar ” ujar ibu padaku.

 

“Lah, apa Ibu gak tahu ya, Aku kan gak bisa bakar roti. Terus Ibu suruh Aku buat bekal sendiri apa?!” jawabku marah.

 

“Iya iya, ya sudah, Kamu tunggu di meja makan saja, biar Ibu yang buatkan bekalnya,” sahut ibuku lagi.

 

“Hmm, Ibu payah banget sih!” Pikirku dalam hati.

 

“Hmm, hari ini Aku pasti terlambat sekolah seperti biasanya lagi deh. Sahabatku pasti sudah datang lebih awal. Huh, semua ini adalah gara-gara Ibu yang payah itu,” gerutuku dalam hati.

 

Beberapa menit kemudian …

 

“Tania, ini ya bekalnya sudah sia. Nah, sekarang Ibu pergi dulu ya. Assalamualaikum,” ujar ibu.

 

Tanpa menjawab salam ibuku aku langsung pergi ke sekolah dengan wajah kesal. Karena ibuku terburu-buru, jadinya aku harus menunggu jemputan Grab deh.

 

Setelah beberapa menit sesampainya di sekolah … 

 

“Hai Tania, kenapa sih Kamu selalu datang terlambat ke sekolah? Jadinya kan kita gak bisa duduk berdekatan?” Tanya Lovi padaku.

 

“Yah, semua ini gara-gara Ibuku yang payah itu,” jawabku, aku mengulangi kata-kata yang sama yaitu payah. Ya ibuku itu kan memang payah orangnya, ‘heh.

 

Setelah beberapa jam di sekolah, aku menunggu jemputan ibuku di pintu gerbang pagar. Lama banget, rasanya. Ibuku itu tidak pantas menjadi ibu, pantasnya menjadi pembantu.

 

Sesampainya aku di Rumah, aku langsung rebahan badan di sofa ruang tamu. Aku melepaskan semua rasa lelah yang aku miliki. Tiba-tiba ibuku datang dan berkata,

 

“Nak, Kamu kalau mau istirahat ganti baju dulu, terus tidurnya di kasur jangan di sofa,” kata ibuku.

 

“Aaah, kenapa sih Ibu ini, Aku benci banget ya sama Ibu. Lagiankan apa urusannya Ibu ngatur-ngatur Aku!” Bentakku pada ibuku, wajahku memerah pertanda mulai marah.

 

“Nak, Ibu gak bermaksud mengatur Kamu. Ibu cuma takut nanti Kamu sakit badan karena tiduran di sofa,” sambung ibuku lagi.

 

Aku tidak mempedulikan apa yang ibuku katakan, setelah puas bersantai aku segera mengerjakan PR dan makan malam. Lalu langsung tidur tanpa mempedulikan apa yang terjadi pada ibuku.

 

Keesokan harinya lagi-lagi aku terlambat ke sekolah, karena ibuku terlalu lama memasak sarapan dan membuatkan bekal untukku. Lagi-lagi aku membiarkan kata-kata kasarku terlepas begitu saja. Entah mengapa ibuku itu dalam seminggu sekali pasti saja membuat aku terlambat ke sekolah.

 

Namun selama lima hari berturut-turut dari hari Senin sampai Jum’at, di minggu kali ini aku berkali-kali terlambat sekolah karena ibuku selalu saja asalkan aku mau pergi ke sekolah ibuku buru-buru pergi ke luar rumah sebentar. Yang membuatku kesusahan adalah saat membuat bekal dan sarapan sendiri. Yang roti hangus, tangan terbakar, dan teflon yang rusak.

 

Kata ibuku mulai minggu depan yaitu hari Senin sampai seterusnya aku akan diantar jemput oleh pamanku. 

 

Aku berfikir, “huh, pasti alasannya ibu sedang sangat sibuk hingga harus meninggalkan keperluanku.”

 

Hingga pada hari Kamis pamanku mengantarku ke rumah sakit.

 

Lalu aku bertanya, “Paman, kita mau ngapain ke rumah sakit?” Tanyaku.

 

“Ibumu sedang sakit, tadi Beliau menyuruh Paman untuk mengantarkanmu ke rumah sakit,” jelas paman padaku.

 

“Tuh kan Ibuku menjadi sakit, pasti karena terlalu banyak memikirkan pekerjaan dibandingkan aku ….” Pikirku. 

 

“Tapi apa Paman tau ruangan ibu dirawat namanya ruangan apa?” Tanyaku mulai sedikit penasaran.

 

“Kan tinggal kita tanyakan kepada Suster,” jawab pamanku.

 

Kami pun langsung menanyakannya pada suster.

 

“Suster, ruangan Bu Mutia Astuti namanya ruang apa ya Sus?” Tanya pamanku pada suster.

 

“Oooh, tadi masih di ruang Melati, tapi karena ruangan Melati sudah penuh jadinya dipindahkan ke ruang Mawar lt.2[1]Pak,” jawab suster tersebut.

 

“Oh ya, baik, terima kasih banyak Suster,” ucap pamanku. 

 

“Iya, sama-sama,” jawab suster itu lagi.

 

Aku dan pamanku pun bergegas ke ruang Mawar di lantai dua.

 

“Duuh, lelah banget sih, tapi sebernarnya apa yang terjadi pada ibu ya? Semoga ibu baik-baik saja,” pikirku mulai gelisah.

 

Setelah sampai di ruang mawar, aku melihat ibuku terbaring lemah di tempat tidur dengan selang impus di tangan dan di hidungnya. Rasanya sedih tak terkatakan, tak terasa air mataku menetes, semakin lama semakin deras, air mata yang tak dapat kutahan, sehingga aku sesegukan dan membuat ibuku terbangun dari tidurnya.

 

Lalu ibuku berkata, “Tania, sekarang Ibu sedang sakit. Ibu sebenarnya selama ini menyembunyikan satu rahasia padamu. Selama ini Kamu telat sekolah gara-gara Ibu kan? Karena Ibu harus cuci darah seminggu sekali, namun karena semakin lama semakin drop. Ibu harus cuci darah dua hari sekali. Ibu cuma mau minta maaf pada Kamu, karena sudah ngerepotin Kamu setiap hari, maafin Ibu Nak ya ….” Jelas ibuku.

 

Tanpa kusadari air mataku menderas bak anak sungai. Hatiku yang hancur berkeping-keping, serasa tubuhku melemah. Mengapa ibu merahasiakan semua ini padaku?  Andai kata ada jurang di depanku sudah kuterjun ke dalam jurang tersebut. Sedih ini tak dapat kutahankan, sedih ini membuat kepalaku serasa ingin retak.

 

“Iya Bu, harusnya Aku yang minta maaf, karena selama ini Aku selalu bekata kasar pada Ibu, maafin Tania juga ya Bu ….” Pintaku pada ibuku.

 

“Iya, Ibu sudah memaafkan Kamu kok,” jawab ibuku.

 

Aku tidak sadar ternyata selama ini aku telah berbuat salah pada ibuku, hanya karena ibuku tidak sempat mengurusku. Apakah aku harus melukai hatinya?. Bukankah aku sudah kelas satu SMP, buat roti saja tidak bisa, aaaah, aku memang payah. Huh!

 

Kini akulah yang merasa bersalah

Andainya saja aku mengetahui semua ini sejak awal

Pastilah aku tidak akan berbuat kesalahan yang sangat besar

Sangat fatal

 

Ibu, maafkan semua kesalahannku ya bu

Aku hanya ingin mengaku semua kesalahanku

Maafkan aku karena selama ini sudah terlalu membencimu

Bu, sekali lagi ku katakan

 

Maafkan aku

Atas seluruh 

Kesalahanku ….

Padamu ….

 

By. Tania 

 

 

Aku menyembunyikan surat ini di bawah bantal tempat ibuku berbaring. Sayangnya ibuku masih harus menginap di rumah sakit Mutiara Hati[2], huuuft, semoga ibu membaca suratku.

 

Keesokan harinya aku dijemput lebih cepat oleh pamanku. Aku merasa ada yang tidak enak mengapa paman menjemputku lebih cepat, apakah ada terjadi sesuatu pada ibu ya?

 

“Paman ada apa, kok Paman kelihatannya terburu-buru dan cemas sekali?” Tanyaku pada pamanku.

 

“Tania, tadi Ibu Kamu tidak sadarkan diri selama berjam-jam, karena sakitnya semakin parah dan karena kekurangan darah, maka dari itu Paman menjemputmu lebih cepat,” jawab pamanku panjang lebar.

 

Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutku. Aku hanya berharap kondisi ibuku cepat membaik. Hanya air mataku yang mengalir bagaikan hujan deras. 

                                                                                           

Akhirnya aku dan pamanku pun sampai ke rumah sakit Mutiara Hati, lalu bergegas ke ruang Mawar di lantai dua. Aku sudah tidak sabar lagi ingin melihat kondisi ibuku sekarang.

 

Sesampainya di ruang Mawar, aku melihat ibuku sudah sadar dan ada seorang lelaki yang duduk di sisi kirinya. Kukira itu hanyalah seorang dokter karena tak terlihat jelas wajahnya.

 

Saat aku menyapa ibuku, “Ibu, Aku sudah pulang dari sekolah, apakah keadaan Ibu sudah membaik?” Tanyaku cemas.

 

Tak kusangka-sangka ternyata lelaki yang tadinya duduk di samping ibuku ternyata bukanlah dokter, tetapi itu adalah … ayahku!

 

Aku langsung memeluknya dan melepaskan seluruh kerinduan yang terpendam.

 

“Ayah, Ayah sudah pulang? Sejak kapan Ayah berada di sini? Kenapa Aku tidak tahu? Kenapa Ayah tidak ada kabar selama ini?” Tanyaku bertubi-tubi.

 

“Iya, Ayah sudah pulang sejak tadi siang saat kamu masih di sekolah, Ayah diberi kabar oleh Dokter bahwa Ibumu sedang sakit, Dokter itu adalah Teman Ayah semasa Ayah masih bekerja di Indonesia, tapi kalau saja Teman Ayah ini tidak memberi tahu, pastilah Ayah tidak mengetahui semua ini. Setelah Ayah di pindah tugaskan ke New York selama beberapa bulan yang lalu Ayah harus meninggalkanmu dan Ibumu, Tania ….” Jawab ayahku panjang lebar.

 

“Tadi Ayah sudah mendonorkan sedikit darah Ayah untuk Ibumu Nak, untungnya darah Ibu dan Ayah sama-sama golongan B[3],” sambung ayahku lagi.

 

“Huuft, untung saja Ayah datang tepat waktu, kalau tidak pasti nyawa Ibu tidak dapat diselamatkan,” kataku sedih bercampur sedikit lega.

 

“Oh iya Tania, maafkan Ayah karena selama ini terlalu sibuk, sehingga tidak bisa mengabari kabar Ayah padamu dan pada Ibumu, lalu HP[4]Ayah kecurian saat baru sampai di bandara New York. Lalu ayah juga tidak bisa menghubungi Ibumu, lalu saat Ayah sudah beli HP baru Ayah lihat di postingan FB[5]Teman Ayah yang dokter ada pasien yang gagal ginjal dan kekurangan kantong darah golongan B.  Saat Ayah melihat fotonya ternyata itu adalah Ibumu,” ucap ayahku sedih.

 

“Iya Ayah, kemarin itu Ibu juga sudah mengganti nomor HP, dan sudah pakai nomor baru. Nomor lama sudah tidak aktif lagi. Jadi maklum kalau ayah tidak bisa menghubungi Ibu” jawabku. 

 

Aku senang tak tahu bilang rasanya, kedatangan ayahku membuatku sedikit lega. Rasanya sedih yang seratus persen menancap di hatiku sudah berkurang menjadi tujuh puluh persen.

 

Kini aku tahu, ternyata selama ini ibuku bekerja keras untukku, sehingga ibu merahasiakan semua ini dariku karena takut aku cemas akan kondisinya yang sedang sakit-sakitan. Bahkan saat sakit pun ibuku tetap bekerja untuk keperluanku sehari-hari, sedih rasanya karena sudah melakukan sesuatu yang berlebihan kepada ibuku.

 

Hatiku mulai tergerak untuk belajar untuk lebih mandiri lagi. Kurasa kejadian itu bisa menjadi pelajaran untukku agar lebih patuh lagi dengan kedua orang tuaku. Sekarang keadaan ibuku sudah lebih membaik dan sudah bisa pulang ke Rumah, tidak menginap di rumah sakit lagi. Senang rasanya bisa tinggal bersama ibuku lagi, namun ibuku ternyata memiliki riwayat tidak bisa capek dan kalau capek ibuku langsung drop. Tapi sayangnya ibuku tetap harus cuci darah tiga bulan sekali, tapi sekarang sudah ada ayahku yang bersedia membantu pekerjaan ibuku karena tidak melanjutkan kontrak kerjanya di New York. 

 

 


 

   

 

                         


* Syarifah Aqilah. Anak perempuan yang berusia 9 tahun ini memiliki cita-cita menjadi Astronot dan Professor. 

Menyukai traveling, karate dan menulis. Tulisan pertama pada usia 5 tahun dimuat di majalah UMMI tahun 2015 rubrik surat sahabat. Cerpen pertama yang berjudul Cupcake buatan Azila dimuat di majalah online Anak Cerdas pada usia 7 tahun.

Buku ini adalah karya pertama Aqilah bersama teman-teman yang dimuat di dalam buku Antologi Cerpen 1 tahun 2020.





Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

1 komentar: