Pages

Rindu Yang Membuncah




Oleh : Ismaidar,S.Pd.I

Aku menghempaskan tubuh di kasur usang yang berada di sudut asrama, memeluk sebuah figura tua  terbuat dari kayu yang hampir lapuk dimakan usia, sambil mengusap satu persatu wajah yang tersenyum di figura tersebut. Tanpa terasa bola-bola bening mengalir di pipi . Rindu kian membuncah seakan-akan ingin  memeluk satu persatu mereka yang ada di figura itu.

            Dua tahun sudah berlalu, menuntut ilmu jauh dari kampung halaman, berbekal bea siswa yang kuterima mengharuskanku menggantung rindu. Tak ada keluarga dan  sanak saudara yang mengunjungiku setiap minggu. Jangankan satu minggu, sebulan, setahunpun takkan mungkin terjadi.

            ”Eh Ca”…! teriak Soli membuyarkan lamunanku. Soli sahabat yang selalu mengerti suasana hatiku.”Dari tadi melamun aja, kamu rindu ya …. ?  Aku menghapus bulir-bulir bening yang tumpah membasahi bantalku. “ Ngak kok! Aku mencoba menyembunyikan kesedihan. Padahal aku ingin berteriak sekeras-kerasnya “Ibu, Ayah, adik aku rinduuuuuuuu!”.

            Tak mungkin bagi mereka bisa mengunjungiku, aku maklumi itu. Penghasilan Ayah sebagai buruh kasar kadang tidak bisa mencukupi untuk kebutuhan pokok adik-adikku. Ibu  kadang harus membantu perekonomian keluarga  menjadi tukang gosokNamun aku bahagia, walaupun aku dilahirkan dari keluarga tidak mampu. Aku bangga memiliki orang tua yang luar biasa.

            “Neuk…saat jauh dari kami nanti, jangan pernah tinggalkan shalat, perbanyak zikir dan shalawat, sering murajaah. Pandai-pandailah membawa diri,takzimsama ustad dan ustazah, simpan rindumu untuk kami ya Neuk”!. Bisik Ibu saat aku memeluknya dengan erat. Ayah juga mengusap kepalaku dengan lembut. “ Sesampai di sana nanti kakak baik-baik ya…Ayahyakin, anak Ayah akan sukses, doa Ayah, Ibu dan adik-adik akan selalu untuk Kakak”. Aku teringat pesan mereka saat mengantarku ke terminal bus. Pelukan hangat adik-adik yang sangat berat untuk melepaskan kepergianku.

            Sebuah senyum  yang menghias wajah Soli menghapus kegalauanku,” yuk kita shalat, sudah dhuhur tuh! Aku menggangguk tanpa bersuara sepatah katapun. Kamipun shalat dhuhur berjamaah di musalla. Aku selalu berdoa agar suatu hari ada keajaiban, mereka yang kucinta bisa hadir disini, sekali saja. Aku ingin hal itu menjadi nyata,tapi imposible.

            Hari berlalu, tak terasa ujian semester tiba. Aku belajar dengan begitu giat. Malam setelah tahajut aku bermunajat kepada Allah agar cita-cita Ayah dan Ibu dikabulkan. Mereka ingin sekali aku menjadi orang yang sukses, bisa membantu anak-adikku menggapai cita-citanya.

            Bu Maya wali kelas, juga sangat peduli . Beliau sering memotivasiku agar lebih giat lagi dalam belajar. “ Ibu yakin Ca, kamu akan mendapat undangan ke sekolah lanjutan terbaik !” kata Bu Maya dengan penuh semangat.

            Hari berlalu, tak terasa ujian akhir kian dekat, aku belajar sangat giat. Tak henti-henti aku memanjatkan doa agar aku bisa menyelesaikan studiku dengan hasil yang memuaskan. Aku menyelesaikan soal-soal dengan begitu mudah. Berkat usahaku selama ini, Alhamdulillah aku meraih nilai tertinggi Se-Kabupaten. Kepala sekolah, guru dan teman-teman sangat bangga padaku, tapi tak membuat aku sombong, aku tetap merasa rendah hati.

            Seperti biasanya sekolah mengadakan wisuda untuk syukuran kelulusan siswa. Orang tua dan tamu undangan diundang  untuk memeriahkan acara tersebut. Aku bergumam dalam hati, andaikan Ayah dan Ibu bisa hadir, aku sangat bahagia.

            Hari ini tibalah saatnya wisuda berlangsung, tamu undangan memenuhi aula sekolah. Wajah-wajah haru dan bahagia terpencar dari siswa, guru dan orang tua . Namun tidak dengan aku. Kucoba menyembunyikan kesedihan dengan mencoba tetap tersenyum.

“Ca, selamat ya…aku bangga menjadi sahabatmu!” Soli memelukku dengan hangat. Aku juga bahagia menjadi sahabatmu Soli.

“Yuk kita duduk, sebentar lagi acara dimulai, kataku sambil menggandeng tangannya.

“Bunda, ini Caca sahabat Soli yang selalu mensuport Soli selama ini”, Soli memperkenalkan diriku dengan Bundanya.Wajah yang penuh keibuan dan kasih sayang Bunda Soli semakin membuat pikiranku berkecamuk. Ibu, Ayah…andai saja engkau di sini!.

Aku menyalami Bunda Soli dengan wajah tersenyum. ”Caca, Bunda bahagia Soli menemukan sahabat sebaik dan sepandai Caca. Soli sering bercerita kalau Caca ingin sekali bertemu dengan orang tua yang jauh di luar kota. Semangat ya, Neuk!, Bunda yakin mereka selalu mengirimkan doa untukmu.

            Diskusi kecil kami terhenti karena suara mikrofon dari MC bahwa acara akan segera dimulai. Para tamu dan undangan menempati tempat duduk. Deretan bangku depan diisi oleh tamu kehormatan, hadir juga bapak bupati. Dan di belakangnya diisi oleh  dewan guru dan wali siswa. Deretan paling belakang diisi oleh siswa. Rentetan acara berlangsung dengan sangat khitmat, hingga tiba acara puncak yaitu penyerahan penghargaan kepada siswa berprestasi. Soli melirik ke arahku, aku tertunduk menahan bola bening yang sedari tadi terbendung di mataku.

Terdengar suara pembawa acara membacakan nama-nama nominasi peraih penghargaan. Aku membayangkan jikalau Ibu dan Ayahbisa hadir, mereka pasti sangat bahagia. Tibalah saatnya namaku disebutkan, peraih nilai tertinggi jatuh kepada Salsabila Putri Aceh. Tepuk sorak penonton semakin meriah. ‘Diharapkan kepada siswa yang disebutkan namanya untuk naik ke panggung”, ucap MC dengan penuh semangat. 

Dengan langkah  gontai berjalan, menaiki satu persatu anak tangga di panggung. Bapak bupati dan kepala sekolah menyambutku dengan wajah penuh bahagia. Tiba-tiba mataku tertuju pada pada sosok yang begitu aku rinduikan selama ini, Ayah, Ibu dan adikku Azril tiba-tiba memelukku dengan erat, Ya Allah mimpikah aku saat ini?. Tangisku pecah dan semua penonton tak bisa membendung tangisnya. Sayup- sayup terdengar ucapan dari Bapak kepala sekolah, ini adalah nyata, kami menghadirkan Ayah dan Ibu sang juara untuk bisa melihat langsung suksesnya seorang anak yang sangat membanggakan baik bagi kami para guru, dan pemerintah daerah. 

Setiap usaha yang dilakukan dengan tulus ikhlas, walaupun mengurai air mata namun hasil akhir tidak akan pernah menghianati setiap usaha yang dilakukan dengan mengharap ridha serta pertolongan dari Allah, dan itu pasti.     

   

 Penulis kelahiran Samalanga Kabupaten Bireunpada tanggal 05  September  1980.  Saat ini bekerja sebagai seorang guru di  Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Kota Banda Aceh.Istri dari Bapak Munawar, S.E dan Ibu dari 4 buah hati. Memiliki hobbimembaca dan memasak .Berbekal ijazah Serjana Bahasa dan Sastra dari salah satu perguruan tinggi di Banda Aceh, akhirnya dia dapat mengajar dan mengabdikan diri di sekolah favoritdi Ibu Kota ProvinsiAceh,sebagai guru kelas. Kesibukan sebagai tenaga pendidik tidak mengabaikan tugas dan tanggung jawabnyasebagai seorang istri dan ibu bagi putra-putrinya.

Majalahanakcerdas.com

Majalah Anak Cerdas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar