Dok. Bijak kata- wordpress.com
Oleh Komala Sutha
Barusaja Bani menyandarkan sepeda pada dinding luar sebuah toko sepatu, ketika matanya menangkap sesuatu yang sangat menarik perhatian. Tak jauh dari kaki kirinya, tergeletak selembar uang. Dadanya berdebar keras, tak salah penglihatannya. Selembar uang berwarna merah. Seratus ribu!
Kaki kirinya segera menginjakkan uang tersebut.Setelah menengok kiri kanan dan dipastikan tak ada orang di sekitarnya, setengah berjongkok, diambilnya uang tersebut lalu dimasukkan ke dalam saku celana pendeknya.
Dada Bani masih berdebar tapi tak sekeras tadi. Diseretnya langkah cepat-cepat menuju rumah saudaranya. Tapi tak ada siapa-siapa, Bani membalikkan tubuhnya, kembali menuju tempat sepedanya bersandar. Di sekitar ditemukannya selembar uang tadi. Tak ada yang mencurigakan. Tak ada tanda-tanda orang yang sedang mencari uang. Beberapa orang berpapasan, tampak biasa-biasa saja.
Bani mengayuh sepeda menuju utara. Sampai di rumahnya. Ibunya sedang memasak di dapur. Bani menghampirinya.
“Pakde tak ada, Bu,” kata Bani. Di kepalanya masih terlintas selembar uang yang telah ditemukannya. Tapi Bani tak berniat menceritakan pada ibunya.
“Budemu?” ibunya tak menoleh, tangannya sibuk mengiris sayuran segar.
“Tak ada siapa-siapa,” jelas Bani lalu meninggalkan ibunya. Ia pun masuk kamar, rebahan dan membayangkan kejadian tadi. Sekalipun, Bani tidak pernah menemukan uang. Apalagi sampai menemukan uang yang nilainya sangat besar. Seratus ribu itu pecahan terbesar. Siapa yang telah menjatuhkan uang tersebut? pikir Bani yang kemudian menggeleng. Tak mungkin ada orang yang sengaja menjatuhkanya. Kalau jatuh tak sengaja, itu pasti. Tapi siapa yang tidak sengaja menjatuhkannya? Sekali lagi, kepala Bani menggeleng. Ia tak ingin menebak-nebak atau memikirkannya lagi. Yang kemudian terlintas di benaknya, wajah teman-teman di kelasnya. Tidak semua, hanya beberapa. Faisal, Ibnu, Fikri, Bagus dan Ardan. Mereka semua teman baiknya di kelas lima. Tapi mereka tidak seperti dirinya. Memiliki keluarga yang lengkap, ayah dan ibu. Salah satu orang tua mereka meninggal. Ada juga yang bercerai. Bahkan dua teman yang lain walaupun keluarga lengkap, tapi hidup dalam kekurangan. Tak seperti Bani yang setiap hari mendapat jatah uang jajan dari orang tua. Tiba-tiba terbersit dalam hatinya, rasa iba yang mendalam. Dirogohnya saku celana, dikeluarkannya isinya. Selembar uang seratus ribu. Ia tak tahu itu milik siapa.
Bani segera bangkit dari tempat tidur. Tak berpikir panjang, ia keluar rumah, mengayuh sepedanya. Ia harus menemui kelima temannya. Uang seratus ribu harus menjadi milik mereka.***
Bandung Barat, 27 Agustus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar